Teori Kritis dan Ruang Publik Politis
Teori Kritis dan Ruang Publik Politis
Teori kritis telah mengalami perjalanannya yang panjang hingga generasinya yang ke tiga saat ini. Baik Habermas, Fraser, maupun Benhabib sama-sama memberikan sumbangsih yang besar dalam usaha menyelesaikan permasalahn sosial yang semakin kompleks pascakekalahan komunisme tahun 1989-1991, terlebih lagi dalam proses pembangunan suatu negara di masa transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi. Kemudian saat ini wacana yang banyak dibahas adalah mengenai ruang publik politis sebagai bentuk “demokrasi maksimal”—lawan dari demokrasi minimalis yang hanya mengedepankan aspek volonte generale tanpa memperhatikan aspek aspirasi secara luas--masyarakat dalam menjaga kedaulatannya di tengah masyarakat yang majemuk.
Ruang publik politik dimaknai sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara untuk membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif.[1] Menurut analisis Habermas ada tiga komponen besar di dalam masyarakat yang kompleks, yaitu Kapitalisme, Negara, dan Masyarakat. Ruang publik politik terletak pada komponen masyarakat (solidaritas sosial), dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang yang otonom dan terbebas dari pengaruh dua komponen lainnya. Namun bagaimanapun juga, hubungan ketiganya bukanlah sebuah hubungan yang kaku. Maka selanjutnya Habermas membagi kembali ruang publik politik menjadi ruang publik otentik—proses komunikasi dilakukan oleh institusi non-formal yang mengorganisasikan dirinya sendiri--, dan satu lagi adalah ruang publik non-otentik, yaitu kekuatan pengaruh atas keputusan para pemilih untuk dimobilisasi ke maksud tertentu lewat media massa.
Diberbagai tulisan sering dikatakan bahwa komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas untuk mengatasi kemandekan Teori Kritis para pendahulunya. Kegagalan para pendahulunya adalah karena teori kritis yang dilandasi rasio kritis akhirnya berubah menjadi mitos atau ideologi baru. Emansipasi yang diperjuangkan mereka hanya menjadi mitos yang tak kunjung selesai. Dewasa ini, perjuangan dan kontestasi, pluralism dan perbedaan bukanlah diartikan sebagai sebuah usaha konstruksi sosialisme, melainkan salah satu bentuk usaha menghidupkan ruang publik politik. Pertanyaan yang timbul sekarang adalah bahwa civil society yang digambarkan sebagai subjek dalam ruang publik politis seakan bertindak superior bahkan melampaui kekuasaan konstitusi yang ada. Contohnya aksi main hakim sendiri dalam kasus Ahmadiyah di banten. Apakah ini bisa dijelaskan sebagai bentuk komunikasi yang gagal dalam jika dikaitkan dengan pendapat Habermas di atas ?. Pertanyaan selanjutnya, dalam kasus transisi demokrasi di Indonesia yang diawali oleh perjuanagan mahasiswa—ruang publik otentik--, lalu ketika beberapa sistem kenegaraan telah berubah dan tuntutan mulai mereda, ruang publik terbuka segera diduduki oleh kekuatan-kekuatan pasar dan birokrasi—ruang publik non-otentik--. Apakah fase transisi selalu terjadi seperti itu, diawali oleh peran ruang publik otentik, lalu kemudian selanjutnya menjadi ajang pergulatan aktor-aktor ruang publik non-otentik ?.
[1] Jurgen Habermas, Struktur Wandel der Oeffenlichkeit (1990). Dalam F. Budi hardiman, “Ruang Publik Politik” hal. 43
0 Response to "Teori Kritis dan Ruang Publik Politis"
Posting Komentar