Tan Malaka: Identitas Nasional yang Terlupakan


Seorang klandestein seperti Datuk Ibrahim Tan Malaka atau yang lebih di kenal dalam sejarah “hitam “ negara ini sebagai Tan Malaka, mungkin tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti apa identitas Indonesia yang diperjuangkannya sekitar 80 tahun yang lalu di 13 negara yang pernah disinggahinya guna “berlarian” menghindari kejaran polisi kolonial. Bagi kita yang hidup saat ini pun sudah sangat bisa dipastikan belum banyak yang mengenal Tan Malaka, bahkan tidak jarang masih mengaitkan seorang yang mendapat gelar pahlawan nasional pada tahun 1963 tersebut dengan komunisme, ideologi terlarang dan betentangan dengan identitas nasional.
Terlepas dari perdebatan-perdebatan di atas, ada sebuah sumbangsih yang kita dapat dari sepakterjang Tan selama masa perjuangan kemerdekaan sampai pada fase dimana bangsa ini harus dipertahankan eksistenisnya. Tahun-tahun kehidupannya memang lebih banyak dihabiskan di luuar negeri, namun semangat dan pikirannya tetap berpengaruh dan hadir dalam setiap nafas perjuangan bangsa, setidaknya sampai saat ini. Kita ingat betul ketika bagaimana para founding fathers yang hidup dimasa itu rmempergunakan buka-buku karangan Tan Malaka—seperti Massa Actie (1926), Madilog dan Naar De Republik Indonesia—padahal tidak kenal siapa sebenarnya Tan, persis seperti kita sekarang. Dalam sejarah hidupnya yang singkat di Indonesia, Tan Malaka telah berjasa mengkonstruksi identitas dan arah masa depan bangsa ini pascakemerdekaan. Sebut saja konsep tentang republik yang telah ia goreskan dalam buku-bukunya pada tahun 1920an, padahal saat itu keberadaannya sendiri tengah singgah dari satu negeri ke negeri yang lainnya, dari pejara ke penjara.
Pembentukan identitas nasionalisme yang dilakukan oleh Tan Malaka bisa dilihat dari dua sisi. Pertama dari biografinya sendiri, bagaimana seorang Melayu kelahiran Sumatera Barat, yang besar dengan didikan Islam bahkan sampai hafal Quran, tidak tertutup dengan nilai-nilai yang bersal dari Barat maupun pemikiran-pemikiran lain yang bukan berasal dari nilai-nilai bawaan sejak lahir. Tan adalah pejuang revolusioner berhaluan kiri, berjati diri kanan. Seorang pengurus partai komunis internasioal namun pada suatu ketika juga mengusulkan agar komunis bekerjasama dengan Islam. Kecintaannya tentang bangsa Indonesia yang besar ini ditunjukan dengan perhatian-perhatian terhdap konstelasi politik dan sosial yang terjadi di Indonesia. Sambil banyak melakukan kritik, juga aktif mendirikan gerakan-gerakan masa dan perhimpunan perhimpunan olah raga (klub sepak bola saat berada di Banten tahun 1945) yang tidak melihat perbedaan identitas kesukuan, latarbelakang dan pemikiran.
Bentukan identitas nasional yang kedua adalah apa yang kita lihat dan pelajari dari masa-masa hidup Tan Malaka. Hidup dalam keterasingan, ada yang menyebutnya sebagai pejuang revolusioner yang kesepian, namun tidak pernah mengagung-agungkan budaya atau identitas kebangsaan lainnya kecuali budaya dan identitas Indonesia. Inilah identitas sebuah bangsa yang seharusnya dan coba diajarkan oleh Tan Malaka, meski terkadang memiliki paham dan cara yang berbeda-beda dalam upaya membangun bangsa, namun tujuan dan objek perjuangannya sama. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah ketika saat ini pemikiran dan kelompok-kelompok yang punya ideolgi berbeda mulai banyak, dan objek perjuangan bersama sudah tidak ada lagi (kemerdekaan Indonesaia), lalu bagaimana identitas dan semangat yang dibangun oleh Tan Malaka dahulu dapat bertahan pada masa sekaramg ? karena terkadang musuh bersama, atau cita-cita yang satu terkadang lebih mampu membuat identitas nasional terbentuk dan dengan suka rela orang-orang akan menaggalkan identidas minornya sementara (lihat ketika kompetisi sepak bola Asia Tenggara atau AFC diselenggarakan).

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Tan Malaka: Identitas Nasional yang Terlupakan"

Posting Komentar