Kekuatan Politik Indonesia PascaSoeharto: Studi kekuasaan dan Kekerasan di Sumatera Utara

Kekuatan Politik Indonesia PascaSoeharto: Studi kekuasaan dan Kekerasan di Sumatera Utara
Jatuhnya rezim otoriter pemerintahan Soeharto pada awalnya sempat membangkitkan harapan masyrakat Indonesia yang selama ini hidup dalam isolasi partisipasi dan berpendapat. Lebih dari itu, perbaikan sistem pemerintahan yang direncanakan akan lebih demokratis—setidaknya menggunakan prosedur-prosedur demokrasi—juga memberikan angin segar atau setidak-tidaknya berita baik akan perbaikan nasib ekonomi kaum marjinal, kelompok minoritas, suku-suku kecil, dan rakyat miskin kota. Secara singkat, setelah mengevalusi lebih dari sepuluh tahun jalannya demokrastisasi di Indonesia, rupanya terlepas dari bahwa demokrasi itu adalah “sebuah proses yang panjang” ada semacam prematurisasi praktik kenegaraan dan pemerintahan, khususnya di daerah-daerah pascabergulirnya wacana desentralisasi. Demokrasi baru Indonesia ini rupanya dibangun oleh apa yang Vedi Hadiz sebut dengan kaum predatoris,[1] yaitu para pelaku politik lama ditingkat paling dasar dalam simpul oligarki dan primordial orde baru yang masih resisten dan terbawa arus desentralisasi samai ke daerah-daerah.
Mereka ini—para predatoris lama—yang dipupuk di bawah sistem patronase orde baru yang luas telah berhasil menata ulang diri mereka di dalam rezim baru pascareformasi. Melalui aliansi-aliansi baru baru mereka secara efektif telah menguasai institusi demokrasi Indonesia. Ini fenomena bangkitnya politik lokal, yang selama orde baru terbenam di lapisan terbawah sebuah sistem patronase. Indonesia saat ini juga mengalami sebuh pertanyaan besar terkait transisi yang dilakukannya. Secara teori, jatuhnya rezim otoriter akan membawa pada masa transisi yaitu peralihan kepada kehidupan yang lebih demokratis, lalu kemudian fase selanjutnya adalah tahap konsolidasi, dan diakhiri dengan tahap pematangan (deepening democracy), tapi juga mungkin bisa tidak terjadi. Menurut O’Donnel dan Schmitter bisa saja transisi yang dilakukan oleh sebuah negara justru berujng pada “sesuatu yang lain”,[2] bisa menjadi lebih demokratis atau justru pembalikan dan pada akhirnya mematangkan sistem otoriter sebelumnya, hanya saja tampuk kepemimpinannya yang berubah.
Sebelum berkesimpulan lebih jauh tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia, kita harus melihat indikator-indikator analisisnya, diantaranya apakah suatu negara yang mengalami transisi telah melakukan perubahan konstitusi, UU pemilu yang baru, UU Desentralisasi dan sebagainya. Lebih khusus lagi, Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor internasional lainnya menilai bahwa transisi harus menuju pada sistem ekonomi pasar dan persoaalan pembentukan lembaga-lembaga good governance yang dijalankan oleh individu-individu yang baik, rasional dan tercerahkan, serta mampu menegakkan peraturan dan perundang-undangan guna menciptakan transparansi dan alokasi sumber-sumber daya efisien. Meski begitu, pandangan yang berasal dari Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor internasional seperti ADB dan IMF, cenderung mengabaikan berbagai kepentingan yang melekat di dalam lembaga-lembaga tersebutdan pengaruhnya terhadap jalannya pemerintahan di tingkat praktik.
Setelah memahami indikator untuk menjawab di mana sebenarnya Indonesia sekarang, maka beberapa analis berpendapat—seperti Kingsbury dan Budiman—bahwa Indonesia berada pada fase pertengahan dari transisi, yaitu dari masyarakat otoritarian yang tertutup ke masyarakat yang terbuka. Di beberapa sisi justru yang terlihat demokratisasi yang terjadi sangt formalistik dan prosedural, seperti pemilihan umum yang bebas namun belum bebas dari praktik politik uang, manipulasi, dan kekerasan. Maka pemaparan di bagian awal dengan sangat jelas telah memberikan gambaran umum bagaimana transisi ini sebenarnya terjadi dan siapa para pelaku yang bermain.
Setelah mundurnya Soeharto, muncul banyak keinginan daerah untuk mendapatkan otonomi yang luas, bahkan sampai ada yang berkeinginan memisahkan diri dari NKRI. Pada saat itu respon pemerintah adalah menyusun undang-undang desentralisasi daerah tahun 1999 yang sampai saat ini telah banyak menuai perdebatan dan revisi beberapa kali. Kemudian permasalahan timbul, Jakarta sebagai pusat ekonomi dan kehidupan bernegara pada masa orde baru tidak serta merta merelakan kekuasaan dan pengelolaan asetnya dibagi-bagi ke daerah, oleh karena itu persaingan utama yang dirasakan adalah adalah tentang penguasaan sumber-sumber daya, meski kekayaan dan aset tiap daerah berbeda, nampaknya uasaha mempertahankan apa yang menjadi hak dan apa yang menjadi miliki, oleh pemerintah daerah seperti sudah merupakan harga mati, tidak jarang antara pemerintah lokal sendiri pun (seperti gubernur dan bupati) terlibat perselisihan pengelolaan kekayaan daerah.
Kasus seperti ini juga tejadi di Sumatera Utara. Dimana politisi lokal bertindak dengan sangat ”super power“ dan Medan menjadi sebuah arena pertarungan yang berdarah-darah serta penuh intimidasi termasuk peggunaan kekerasan dalam mencapai tujuannya. Secara umum konstelasi politik di sana dikuasai oleh pialang dan Bandar politik yang ambisius, birokrat negara yang lihai dan masih bersifat predatoris, kelompok-kelompok bisnis baru yang berambisi tinggi, serta beragam gangster politik, kaum kriminal, dan barisan keamanan sipil, LSM dan civil society banyak berperan di belakang para aktor politik lokal. Di antara organisasi tersebut adalah HMI, KNPI, GMNI, GMKI, yang melalui organisasi tersebut dahulu orde baru merekrut kader-kader dan Bandar politik baru. Dan yang tidak kalah penting barisan Pemuda Pancasila dan IPK yang berdiri paling kokoh dibelakang kekuasaan lokal tersebut.
Fenomena kekuasan yang menarik adalah meski pascaSoeharto partai politik yang berkuasa secara jumah suara adalah PDI-P, namun dari 22 bupati dan walikota, sesungguhnya semua dalah calon Golkar. Kemenangan Golkar ini mungkin sebagin merupakan kelihaian dalam memainkan permainan politik uang, juga mesin politiknya masih berjalan dengan baik. Fenomena lain yang sangat primadona di Sumatera Utara adalah peran kelompok-kelompok preman. Tiga orang dari anggota parlemen di DPRD kota Medan adalah tokoh-tokoh pemimpin cabang lokal dari organisasi pemuda besar yang umumnya merupakan wadah bagi aktivitas preman. Contoh kasus yang paling banyak dicermati adalah terpilihnya walikota Medan, Abdillah—seorang tokoh bisnis di Medan—yang waktu itu bersaing dengan Ridwan Batubara yang di dukung oleh PDIP (mayoritas parlemen) dan seorang kaka—Yopie Batubara—yang juga seorang pebisnis di Medan. Namun yang terjadi sebaliknya, di luar perkiraan, data tersbut terpatahkan dan Abdillah keluar sebagai pemenang pilkada.
Belakangan baru terungkap bahwa telah terjadi penculikan belasan anggota parlemen dari PDIP kemudian dipaksa untuk memilih calon yang lainnya (Abdillah). Secara lebih luas akan menjadi rumit jika tali-tenali ini terus dijabarkan, namun pada intinya unag dan pistol lebih banyak bebicara daripada modal sosial lainnya, mobilisais masa adalah buah dari ancaman dan intimidasai kelompok-kelompok preman yang berafiliasi dengan aktor dan penguasa politik tertentu. dari kasus tersebut kita dapat belajar bahwa terjadi paradigm tentang pentingnya sebuah akses terhadap sumber-sumber keuangan dan aparat kekerasan dalam politik lokal saat ini. Hubungan dengan militer pun tidak bisa dihindari apa lagi dilihat dengan sebelah mata. Kelompok-kelompok preman tingkat lokal ini secara khusus dicari-cari dan menjadi mesin politik yang tangguh pascaperan militer yang dipaksa mundur setelah berakhirnya orde baru. Disamping menyediakan tenaga bagi para calon-calon pejabat predator, mereka juga mampu menyediakan dana dan memobilisasi masa hingga pada tahap-tahap tertentu seperti sebuah organisasi veto yang bisa mempengaruhi hasil kebijakan kapan saja.
Akhirnya dapat di pahami transisi demokrasi di Indonesia secara utuh, setidaknya setelah menghadirkan sebuah contoh bagaimana demokrasi dijadikan arena para premen untuk adu pengaruh dan “kegalakan” sehingga yang kentara bukanlah suara mayoritas masyarakat yang muncul, tapi keinginan dan kepentingan para “rakuser-rakuser”—menurut istilah saya—atau para predatoris yang sudah berevolusi dan menjadi resisten pascarezim otoriter tutup buku. Inilah tantangan demokrasi sesugguhnya, setidaknya memberikan penjelasan pada kita demokrasi pun kadang sangat formaslistik dan utopis, tidak kalah utopisnya dengan komunisme meski saya sendiri masih berkeyakinan dan berharap demokrasi bisa menjadi jembatan emas kedua bagi rakyat Indonesia setelah kemerdekaannya lebih dari 65 tahun silam.



[1] Vedi R. Hadiz, Reorganizing Political Power in Indonesia: a Reconsideration of so-called ‘democratic transitions’, The Pacific Review, vol. 16 N0. 4 2003, hal. 591
[2] Vedi R. Hadiz, Kekuasaan Politik di Sumatera Utara; Reformasi yang Tidak Tuntas, dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesai Pasca-Soeharto, LP3ES: Jakarta (2005), hal. 236

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Kekuatan Politik Indonesia PascaSoeharto: Studi kekuasaan dan Kekerasan di Sumatera Utara"

Posting Komentar