Kemenangan Institusi Informal terhadap Negara dalam Pilkada
Salah satu hambatan besar dalam proses reformasi di Indonesia pascaperistiwa 1998 dan arah pembangunannya menuju demokrasi adalah belum tuntasnya pergantian rezim (aktor politik) lama dengan rezim baru, sehingga meski terlihat secara prosedural telah terjadi perubahan dalam tata pemerintahan dan kelembagaan, namun sesungguhnya hal tersebut masih dijalankan oleh orang-orang lama dari rezim lama yang juga sudah terbukti gagal. Digambarkan oleh banyak penulis pascarformasi bahwa efek bola salju terjadi mengiringi pergerakan arus desentralisasi yang secara tidak sadar maupun sadar membawa serta pula para “pemain” lama di panggung politik lokal untuk merajai kekuasaan-kekuasaan di daerah melalui hajatan besar baru yang bernama pilkada. Momentum ini telah menjadi titik tolak bagi kekuatan-kekuatan politik untuk memainkan peranan politik yang lebih maksimal.
Kemunculan kekuatan-kekuatan politik baru di daerah juga bukan tanpa masalah, biasanya yang kentara terlihat adalah permasalahn konsesus anatar lembaga-lemabaga negara formal dengan lemabaga-lemabaga masyarakat yang bersifat informal seperti LSM, Ormas, maupun persekutuan adat. Di satu sisi mungkin hal tersebut menandakan sinyal positif dari partisipasai masyarakat dalam berpolitik ketika mulai sulit menyalurkan aspirasinya secara langsung kepada lembaga-lembaga formal negara, namun di sisi lain hal ini menimbulkan ketegangannya sendiri, yaitu lebih dominan dan dipercayanya lembaga formal oleh masyarakat daripada saluran aspirasi formal seperti parpol dan DPRD. Kehadiran lembaga informal ini kemudian lebih terlihat menggerogoti otoritas yang dimiliki lembaga formal negara.
Beberapa kasus pilkada—sejak bergulir pemilihannya secara langsung pada tahun 2005—memperlihatkan peran lembaga informal ini (kelompok kepentingan dan pengusaha) lebih kuat dalam pemenangan kandidat dalam sebuah pilkada dibanding peran yang dimainkan oleh lembaga formal, yang seharusnya menjadi instrument utama. Penguasaan mereka atas sumber daya ekonomi dan politik menjadi modal dasar yang kemudian menciptakan mereka menjadi pemegang kontrol atas konfigurasi politik di pilkada.[1] Hal ini diperparah ketika saluran demokrasi tadi (pilkada) lebih hanya bersifat prosedural dan terkesan mengabaikan pokok-pokok substansinya, maka kemudian yang terjadi adalah kompetisi antar elit dan tawar-menawar kepentingan antara golongan pemiliki modal dengan penguasa atau dengan kata lain institusi formal negara dibajak oleh institusi politik informal. Kekhawatiran selanjutnya adalah apabila di tingkat lokal tersebut pendidikan politik masyarakatnya masih rendah, akan semakin sulit saja menghindari peran aktor-aktor informal (tokoh-tokoh masyarakat) sebagai aktor mobilisasi massa pendukung.
Pada dasarnya pemilihan kepala daerah secara langsung adalah demi mewujudkan proses akuntabilitas para kandidatnya agar mampu bertanggung jawab dengan baik, serta menjamin terjadinya sirkulasi elit-elit lokal sehingga potensi konflik anta relit dan abuse of power dapat diminimalisir. Namun, pelaksanaannya saat ini lebih cenderung kepada fenomena absennya negara dalam menjalankan fungsi demokrasi dalam pilkada-pilkada yang diselenggrakan. Kekuatan informal lokal lebih memainkan perannya dan inilah yang disebut oleh William Reno dengan shadow state, yang pada awalnya istilah ini digunakan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di negara-negara Afrika pascakolonialisasi. Negara bayangan (shadow state) biasanya akan hadir, tumbuh, dan berkembang pada saat terjadi pelemahan institusi formal negara, karena ketidakberdayaannya dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan politik dominan yang berada di luar struktur pemerintah.
Untuk kasus di Indonesia, actor utama “pemerintah bayangan” dalam pilkada adalah umumnya berasal dari kalangan masa lalu (orde baru) yang sebelumnya mendapatkan previlage untuk membangun kerajaan bisnisnya. Ketika rezim orde baru berakhir, maka jalan yang tepat untuk “mengamankan” kepentingannya adalah melalui “investasi politik” atau yang lebih kita kenal saat ini dengan istilah politik balas budi, bagaimana para pemodal mendapatkan pelayanan tertentu sebagai hasil kerjasamanaya menyokong pemenangan salah satu kandidat yang bertarung unutk menjadi kepala daerah. Salah satu kasus yang menjelsakan kekuatan politik informal ini dengan terang telah memenangkan posisi dan pengaruhnya lebih baik daripada lembaga formal negara adalah dinamika politik yang terjadi di Lombok Timur, yaitu menguatnya Ormas dan Pamswakarsa sebagai lemabaga informal yang paling berpengaruh dalam pemilihan kepala daerah.
Secara singkat politik lokal di Lombok Timur lebih dikuasai oleh Ormas Islam Nahdlatul Wathan (NW) dan Pamswakarsa. Dalam perjalanan sejarahnya NW terpecah menjadi dua, yaitu NW Pancor dan NW Anjani. NW Anjani inilah yang pada awalnya didirikan sebagai lembaga sosial, pendidikan, dan dakwa, namun lama-kelamaan menjelma menjadi kelompok kepentingan yang paling bepengaruh dalam konstelasi politik lokal di Lombok Timur. Berbeda dengan ormas tersebut, Pamswakarsa justru dilahirkan secara sadar oleh negara. Konstelasi politik nasional dan lokal pascareformasi 1998 yang tidak tentu arah memaksa negara meminta masyarakat membentuk badan-badan keamanan secara mandiri (Pamswakarsa). Singkatnya, dalam perkembangan lebih lanjut, kehadiran mereka ini telah menyentuh ke sendi-sendi terdalam kehidupan keseharian masyarakat di daerah ini.
WN dan Pamswakarsa dalam politik lokal di Lombok Timur telah menjelma menjadi kelompok kepentingan (interest group) yang signifikan, kuantitas anggota dan tokoh populis dalam tubuh pamswakarsa misalnya, telah menjadi modal berharga dalam transaksi tawar-menawar kepentingan politik dengan partai politik di setiap event pemilu. Distrust yang dialami oleh masyarakat terhadap institusi formal negara menjadi salah satu faktor penguat paktik negara bayangan ini, contoh lain misalnya, ternyata Pamswakarsa lebih terlihat sebagai pasukan keamanan daripada polisi daerah di sana, mereka memiliki kendaraan operasional dan alat komunikasi yang lebih canggih dibandingkan polri. Basis massa yang kuat dan g dua lembaga informal ini dalam masyarakat, serta di tambah lagi dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang menurun terhadap institusi formal negara telah menambah keleluasaan para bandit politik lokal untuk melanggengkan kekuasaannya, yaitu “orang-orang lama berjalan di jalan baru dengan cara-cara lama”. Akhirnya tidak sedikit kebijakan politik menjadi sia-sia karena tiadanya restu dari elit ormas. Dalam pembuatan implementasi kebijakan misalnya, sering kali institusi formal negara harus berkonsultasi dan menunggu kebijakan politik ormas tersebut. Disinilah terlihat bahwa peran dan fungsi institusi politik formal telah terdistorsi.[2]
0 Response to "Kemenangan Institusi Informal terhadap Negara dalam Pilkada"
Posting Komentar