Sedikit Tentang Transisi Demokrasi
Pendahuluan
…Transisi menuju demokrasi menciptakan lingkungan yang lebih terbuka di mana asosiasi di dalam masyarakat (civil society) lebih dimungkinkan untuk berfungsi lebih baik… (Sorensen:105)[1]
Gelombang demokratisasi dunia ketiga (yang terjadi pada tahun 1974 hingga saat ini)[2] nampaknya baru saja berakhir, setidaknya itulah kesimpulan awal yang dilakukan oleh banyak pengamat politik untuk menjelaskan fenomena gelombang demokrasi di Timur Tengah yang dimotori oleh Tunisia di awal tahun 2011 ini. Sebuah efek domino yang dahulu terkenal untuk menjelaskan faham komunis dan pengaruhnya pada negara-negara sekitar yang terpengaruh oleh paham tersebut, kini digunakan oleh demokrasi—sebagai pemenang dalam pertarungannya dengan komunis—dan familiar hingga beberapa bulan lagi kedepan menyusul semakin tingginya tensi dan tuntutan negara-negara di Timur Tengah untuk segera melakukan transisi demokrasi.
Pada tahun 1978 ada sebuah lembaga global yang melakukan pemantauan seberapa jauh demokratisasi telah berlangsung di dunia dengan melakukan asesmen pada 192 negara dan 18 kawasan yang dilanda konflik. Laporan mereka menjadi acuan dari para ilmuwan politik dunia untuk melihat gelombang surut dan pasang demokratisasi, di antaranya adalah Samuel Huntington. Kemudian Huntington—yang menjadi salah satu acuan teori dalam makalah ini—membuat klasifikasi dan pembabakan jalannya gelombang demokratisasi di dunia (tiga gelombang besar demokratisasi dengan pasang surutnya) dan menjadi rujukan banyak ilmuan lainnya untuk menjelaskan fenomene demokratisasi di berbagai dunia.
Perjalanan panjan gelombang demokrasi dunia ke tiga seperti yang dijelaskan oleh Huntington dimulai dengan meninggalnya Jendral Fanco di Spanyol yang mengakhiri rejim otoriter/militer di Eropa Tengah pada tahun 1975, ketika Raja Juan Carlos dengan bantuan PM Adolfo Suarez memperoleh persetujuan parlemen dan rakyat untuk menyusun konstitusi baru yang demokratis, dan di Portugal selelompok perwira militer muda melakukan kudeta kepada Marcello Caetano, sang dikatur jatuh. Selama setahun Portugal mengalami transisi yang penuh drama, namun akhirnya kelompok pro demokrasi menjadi pemenang.[3] Secara singkat dari data sejarah yang diungkapkan oleh Huntington tersebut, kita dapat menarik satu kesimpuan bahwa umumnya transisi dan suksesi ke arah demokrasi seperti yang banyak terjadi di negara-negara berkembang selalu di awali oleh sebauh rezim otoriter dan sifat kekuasaan pemerintahannya cukup lama.
Kaitannya dengan kasus di Indonesia pada tahun 1998, rupanya sekilas jika diperhatikan gejala, penyebab dan arah transisinya adalah sama. Dari sebuah pemerintahan yang otoriter kemudian beralih kepada sistem pemerintahan yang cenderung lebih demokratis. Penulis mengangkat tema yang sebenarnya sudah lama dibicarakan dan lewat masanya ini bukanlah karena semata-mata tren demokrasi yang saat ini ramai dibicarakan di media-media dan mewarnai pergolakan disertai demonstrasi di Timur Tengah, tapi penulis berkeyakinan bahwa gelombang demokrasi—katalanlah sekarang ini adalah gelombang yang ke empat pascatahun transisi demokrasi ke tiga (1974 ) menurut Huntington—pasti akan terus lahir dan melahirkan pasang surutnya selama liberalisme belum menemui “musuhnya” kembali.
Demokrasi sebagai sebuah studi pembangunan negara dan politik pada hakikatnya bukalah cita-cita yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia, di dalam konstitusi bangsa ini pun tidak pernah termuat kata “demokrasi” apalagi menjadi semangat bangsa yang terus diajarkan, namun begitu setidaknya sistem inilah yang terbaik hingga saat ini. Seluruh bangsa dimanapun di dunia ini pasti mengatakan bahwa dirinya adalah sebuah bangsa yang demokratis meski sekilas kita lihat ternyata sangat otoriter juga, seperti China dan Kuba. Berangkat dari asumsi inilah kemudian demokrasi menjadi salah satu kunci pokok daam pembangunan sebuah negara. “Akhir sebuah sejarah” yang dikatakan oleh Francis Fukuyama[4] juga demikian, demokrasi setidaknya yang paling resisten hingga saat ini dan relevan untuk digunakan oleh bangsa-bangsa di dunia yang sedang membangun.
Di Indonesia, sangat menarik untuk mengamati jalannya proses demokratisasi khusunya pada saat peralihan dari orde baru menuju era reformasi. Jatuhnya rezim Soeharto telah membawa harapan besar bahwa bangsa Indonesia akan segera menemui cahaya baru setelah 32 tahun lebih dalam kekuasaan otoritarian. Ekspektasi yang tinggi ditunjukkan melalui dukungan terhadap gerakan mahasiswa. Berbagai isu seperti penegakan hukum dan penghapusan KKN, reformasi politik dan ekonomi serta pengadilan Soeharto berikut kroninya menjadi spirit gerakan reformasi. Jatuhnya suatu rezim otoriter umumnya akan diikuti oleh proses demokratisasi. Dalam proses tersebut, elite politik memainkan peran sangat penting terutama dalam mengawal transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi.
Di sini negara tidak dipandang sebagai sosok tunggal yang terus dimintai pertanggungjawabannya atas kebobrokan dan kemelaratan ekonomi yang terjadi di akhir tahun 1990an, tapi aktor juga punya peran peting dalam kehidupan politik manipulatif yang berlangsung lebih dari 30 tahun. Siapa lagi jika bukan Soeharto dan para kroninya (keluarga dan orang-orang di lingkaran dalam pemerintahan yang dekat Soeharto, termasuk para pengusaha). Dengan berfokus pada profil, sepak terjang perjalanan, kebijakan dan manipulasi yang dilakukan oleh Soeharto termasuk para kroninya, serta proses transisi demokrasi yang terjadi, penulis akan coba menjelaskan semuanya menjadi satu kesatuan runtut peristiwa disertai penjelasan menggunakan teori yang di kemukakan oleh Vedi R. Hadiz, teori elit Vilfredo Paretto dan teori pembangunan Arif Budiman. Sehingga diharapkan didapatkan sebuah pemahaman yang lebih komprehensif terkait masa transisi demokrasi, prosesnya, dan negara orde baru itu sendiri beserta dampak-dampak lanjutan yang menyertainya selama masa reformasi.
Mengenal Soeharto dan Politik Orde Baru
Soeharto lahir dari keluarga petani sederhana di Desa Kemusu, Yogyakarta, pada tanggal 8 Juni 1921. Sampai dengan akhir hayatnya mungkin banyak orang Indonesia menilai bahwa Soeharto adalah salah satu tokoh pembangunan di Indonesia yang sukses dan cukup berpengaruh serta besar jasanya, meski banyak pula sisi negatif dan persoalan-persoalan pelik yang belum terselesaikan dan menjadi tanggungjawab presiden Indonesia ke dua tersebut. Sejak tahun 1967, beliau menjabat sebagai presiden RI dan dikukuhkan pada tahun 1968.
Karir dan popularitasnya mulai dikenal banyak orang pascaterjadinya peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Pada saat itu Soeharto adalah Panglima Kospad (Komando Strategi Angkatan Darat) berpangkat Letnan Jenderal yang memimpin operasi pembersihan PKI dan segala antek-anteknya. Dengan keberhasilan yang dilakukannya dalam upaya pembersihan PKI dalam waktu singkta, praktis masyarakat mulai mengenalnya, dan posisi politiknya pun yang dahulu bukanlah “siapa-siapa”, kini sudah menjadi “siapa-siapa” serta memiliki dudukan yang cukup penting dalam kenegaraan. Kelihaian manufer politik dan mencari simpati masyarakat tidak hanya berhenti sampai dia menjadi presiden, tapi ketika menjadi presiden pun Soeharto terkenal bertangan dingin dan lihai dalam mengalahkan lawan-lawan politiknya.
Dari mulai penyederhanaan jumlah dan bentuk partai politik, sampai kemenangan Golkar disetiap pemilu orde baru dengan persentase di atas 65%. Penerapan Undang-Undang Monoloyalitas yang mengharuskan seluruh pejabat Negeri Sipil adalah kader Golkar telah pula menjadikan cengkraman luar biasa Soeharto dan Golkar di pemerintahan RI. Seluruh jajaran pemerintahan dari tingkat desa sampai dengan tingkat pusat adalah kader Golkar dan sistem masa mengambang yang diterapkan bagi Partai Politik (Golkar bukan Partai Politik, melainkan organisasi masa) untuk hanya memiliki masa sampai tingkat Kbupaten dan Kota, turut menambah daftar panjang “praktik” Soeharto dan kroninya dalam menguasai negara dan pemerintahan.
Menarik kita mau memperhatikan lebih jauh terkait profil dan sepak terjang Soeharto, ternyata dalam sejarah pemerintahannya tidak pernah ada calon presiden lain, selain Soeharto. Tidak mengherankan jika mampu memegang kekuasaan presiden RI lebih dari 30 tahun. Praktik KKN, keterlibatan anggota keluarga cendana dalam mengelola aset negara, dan pemberlakuan Dwi Fungsi ABRI yang membuat tentara Republik ini aktif dalam segala kegiatan sosial masyarakat termasuk menjabat sebagai anggota dan peran-peran politik, semakin meluaskan jerat dan pengaruh Soeharto untuk menguasai pemerintahan. Akhirnya pujian demi pujian datang kepada Soeharto dari orang dekat yang juga turut menjilatnya, seperti sanjungan “Bapak Pembangunan” kepada presiden yang memerintah Indonesia paling lama tersebut.
Ketakutan tersingkir, termanja dengan kemewahan dan fasilitas, korupsi, pragmatisme, merasuk dalam kehidupan para penguasa dan penguasaha bangsa Indonesia. Latar budaya Jawa yang sentralistis berupaya disosialisasikan ditengah masyarakat dan pemerintahan bangsa Indonesia.[5] Badan legislatif yang ada di daerah-daerah tidak mampu memilih kepala daerahnya di samping calon-calon yang direstui oleh pusat. Pola perilaku hidup yang konsumtif telah membuat masyarakat berlomba-lomba mengisi pundi-pundi pribadinya walaupun dengan cara-cara yang tidak halal.
Banyak cenkraman lain yang bisa dijabarkan terus baik dari sisi institusi negara maupun praktik kehidupan bermasayarakat, namun yang ingin difokuskan disini hanyalah beberap hal saja. Salah satu yang menarik dari sistem kekuasaannya adalah Soeharto berhasil menciptakan kepatuhan, ketakutan, apatisme, dari kemungkinan timbulnya gejolak-gejolak sosial.[6] Kondisi yang seperti ini membuat kenyamanan dan peluang untuk melakukan pembangunan. Namun setelah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela dalam rezim tersebut, apalagi dengan beban hutang luar negeri yang semakin menggunung rupanya telah membuat lemah legitimasi masyarakat terhadap negara, kekecewaan dan aksi protes mulai nampak dan berani, begitu jua pemerintah mulai lebih represif dan bertindak anarkis terhadap masyarakt dengan dalih hal tersebut adalah perbuatan subversif.
Keruntuhan Rezim Orde Baru
Perubahan adalah peristiwa yang mutlak terjadi, begitu juga yang terjadi di Indonesia pada masa akhir tahun 1990an, mayarakat sudah mulai berani menentang kezaliman dan menuntuk adanya perubahan yang fundamental dan menyeluruh, termasuk turunnya presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. Hal ini bukan terjadi secara tiba-tiba, tapi ini adalah gamabaran meluapnya aspirsi dan perasaaan masyarakat yang sudah terpendam sekian lama, keadaan sesungguhnya yang terjadi, kalau pun ada stabilitas dan integrasi dalam pemerintahan selama pemerintahan orde baru, itu tidak lain hanyalah stabilitas dan integrasi semu.
Saat itu seorang yang bernama Dr. Amin Rais dari Yogyakarta, begitu lantang bersuara dan dengan terang menyatakan bahwa dirinya siap untuk menjadi seorang presiden siap melawan ketidakadialan dan kebohongan pemerintahan selama ini. Padahal sebelumnya tidak pernah ada orang yang berani menyatakan dirinya untuk maju manjadi calon presiden, bahkan manjadi seorang wakil presiden pun harus mendapat restu terlebih dahulu dari presiden Soeharto. Akibatnya Dr. Amin Rais menuai dampak dari keberaniannya tersebut. Dengan kekuasaan yang dimiliki, presiden Soeharto mencopot kedudukan Amin Rais dari kepengurusan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), lalu otoritas soeharto semakin nampak setelah ia kembali manjadi presiden RI pada tahun 1997 untuk yang ke-tujuh kalinya.[7]
Anak dan cucu Soeharto semakin sewenang-wenang, putri sulungnya telah bersiap menjadi “Putra Mahkota”. Semakin terbuai oleh kekuasaan, kemewahan, dan kemudahan fasilitas bahkan merasa tidak ada yang dapat mengusik pola hidup yang konsumtif tersebut, mereka rupanya lupa, bahwa tindakan yang semakin sewenang-wenang pada hakikatnya akan memepercepat proses kejatuhan. Arus demokrasi dan reformasi mulai mencuat diamana-mana, tuntutan-tuntuan juga mulai lahir di banyak daerah di Indonesia, mahasiswa, kelas pekerja, dan rakyat bahu-membahu untuk terus menyuarakan tuntutannya.
Puncak aksi dan arus reformasi ini diawali pada tanggal 14 Mei 1998 pada saat empat orang demonstran tewas tertembak oleh aparat keamanan pemerintah yang mengamankan aksi tuntutan reformasi tersebut di kawasan kampus Trisakti. Rupanaya ini adalah titik lecut perjuangan masyarakat yang sesungguhnya, diaman-mana orang bersempati dan turut berkabung sambil menyiapkan aksi dan tuntutan yang lebih besar lagi. Hari-hari berikutnya, masih di bulan Mei, terjadi aksi penjarahan dan pembakaran pusat-pusat perdagangan di Ibu Kota dan sekitarnya, seperti daerah Glogok-Jakarta. Situasi nasional kian tidak terkendali, stabilitas politik sangat dirasa kacau balau, nilai mata uang rupiah jatuh sangat dalam, dan keadaan di Jakarta semakin mencekam.
Diantara para birokrat dan TNI timbul friksi, satu demi satu para kroni Soeharto mulai membelot dan para menteri yang duduk dijajaran kabinetnya mulai banyak yang mengundurkan diri, entah karena melihat peluang kekuasaan atau karena murni rasa kemanusaiaan. Legitimasi terhadap pemerintah benar-benar telah runtuh. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1998, dibawah tekanan arus reformasi dan “keompok 20” yang menyerahkan kekuasaannya pada Prof. Dr. B.J Habibie, (selama ini menjadi salah seorang yang dekat dengan Soeharto). Pada saat itu Habibie juga menjabat sebagai seorang wakil presiden dan ketua Dewan Pembina Golkar. Berakhirnya kekuasaan orde baru setelah memimpin negara ini lebih dari 30 tahun dirasa seperti “mimpi di siang bolong”. Manejemen yang awalnya terkesan rapih, terstruktur dan sangat sistematis dari pusat hingga daerah akhirnya menemui kehancurannya. Soeharto mulai menuai kejahatan dari masyarakat, beliau memasuki masa tuanya, begitu juga keluarganya yang penuh dengan pengalaman hujatan dari hasil “dosa-dosa” yang dilakukan dahulu.
Reformasi dan Transisi Demokrasi Belum Tuntas
Pertanyaan terbesar setelah proses transisi demokrasi dari sebuah rezim yang dikatakan otoriter menuju ke masa berkehidupan negara yang lebih reformis adalah apakah benar arah peruahannya tersebut ke arah yang demokratis, apa justru sebaliknya mundur kebelakang dan sama saja dengan masa-masa pemerintahan sebelumnya ?. Untuk menjawab hal tersebut kita bisa mencermatinya dari 10 tahun awal jalannya reformasi. Ada sebuah UU yang sangat terkenal dan menjadi harapan para kaum reformis seperti Amin Rais saat itu, UU No 22 Tahun 1999 yang mengamanatkan desentralisasi dan pendistribusian kewenangan dari pusat ke daerah. Rupanya setelah diefaluasi setidaknya sampai dengan keluar lagi UU perbaikannya (UU No. 32 Tahun 2004), desentralisasi tidak hanya mendistribusikan kekuasaan ke daerah, tapi juga praktik KKN dan aktor-aktor lama yang resisten dengan perubahan tersebut, dan kini berusaha untuk menguasai, lalu kemudian menjadi “raja kecil” disana.
Menurut Vedi Hadiz,[8] dalam kenyataannya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah keseimbamgan yang sebenarnya antara otoritas pusat dan regional jauh kurang berkenaan dengan pembagian kerja dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lebih merupakan perebutan nyata atas sumberdaya-sumberdaya politik dan ekonomi. Akhirnya sebagai sebuah kesimpulan dapat dikataan bahwa kemenangan kepentingan-kepentingan predator (orang-orang lama yang yang dekat dan pernah bersinggungan dengan Soeharto dan hanya mementingkan kepentingan ekonomi serta politiknya pribadi saja) dalam perebutan kekuasaanlah yang memiliki implikasi yang paling penting bagi desentralisasi dan demokrasi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan keberhasilan membangun kembali diri mereka (predator) dalam demokrasi baru.
Sorensen mengatakan bahwa, “transisi dari negara non-demokratis menuju pemerintah demokratis merupakan proses yang kompleks dan melibatkan sejumlah tahapan”. Hal ini dapat dianalisis dari fenomena presiden Habibie yang digadang-gadang akan memberikan perbaikan pascaruntuhnya rezim Soeharto. Habibie dinilai sama saja dengan Soeharto, dia hanyalah kepanjangan tangan dari rezim lama yang bercokol di era baru, begitulah setidaknya selentingan yang ramai muncul saat mahasiswa kembali turun ke jalan untuk segera mendesak Habibie lengser dari kursi presiden. Ditambah lagi dengan kasus keluarnya Timor-timor dari NKRI telah membuat daftar panjang ketidaksukaan rakyat kepada sosok jenius kelahiran rahim orde baru tersebut. Inilah yang penulis maksud dengan proses kompleks dalam teransisi demokrasi yang dipinjam dari pernyataan Sorensen.
Reformasi belum tuntas, setidaknya itu yang dirasa pada tahun-tahun awal pascaruntuhnya rezim Soeharto. Korupsi di lingkungan pemerintah masih belum berhasil diberantas, bahkan semakin menyebar sampai ke lingkungan yang terdekat dengan Presiden. Konflik etnis dan antar agama masih saja terjadi, dan gerakan separatis di Irian Jaya dan Aceh belum teratasi dan belum ada tanda-tanda akan mereda. Kepemimpinan menjadi fokus yang terus disorot, dan proses ini akan masih panjang berlangsung hingga Indonesia menemukan sistem dan aktor politiknya yang baik dan mengerti kebutuhan bangsa, bukan kebutuhan perutnya sendiri.
Pelembagaan Kekuasaan
Hubungan antara negara dan kekuasaan sama sekali tidak dapat dipisahkan. Negara merupakan lembaga yang mempunyai kekuasaan tertinggi, dan dengan kekuasaan itu pula negara melakukan pengaturan terhadap masyarakatnya. Negara orde baru kaitannya dalam makalah ini mencerminkan hal demikian, namun yang terjadi adalah justru kekuasaan itu telah sangat melampaui batas kewajaran. Legitimasi rakyat dimobilisasi lewat pemilu, persaingan menjadi presiden nampaknya tertutup dan hanya diperankan oleh aktor yang itu-itu saja. Disinilah tampaknya negara orde baru begitu berkuasa dan mampu mendikte rakyat sekian puluh tahun di Republik Indonesia.
Dapat dipahami dari teori pelembagaan kekuasaan, berbagai pandangan teoritisi yang memposisikan negara sebagai lembaga kekuasaan tertinggi adalah bahwa negara dipandang selalu dapat bertindak netral. Negara secara inheren di dalam dirinya mempunyai tujuan-tujuan baik bagi masyarakat, serta tidak mungkin akan merugikan kehidupan warganya. Inilah pandangan teori Negara Organis.[9] Hal serupa juga ditunjukkan oleh Teori Marxisme-Leninisme di mana negara merupakan perwujudan dari diktatur proletariat. Namun dalam proses selanjutnya, justru acapkali negara menjadi lembaga yang sangat otonom serta sama sekali telah mengabaikan berbagai kepentingan masyarakatnya. Sampai titik ini, negara orde baru sesuai untuk dijelaskan, bahwa telah mengabaikan kepentigan masyarakatnya meski ia bukanlah negara Bonaparte seperti yang diutarakan oleh kaum Marxis.
Pada akhirnya diakhir tahun 1990an negara selalu difungsikan sebagai alat serta mesin pembenar bagi aparatusnya untuk melakukan represi. Maka, hubungan negara dengan masyarakat tidak selalu dalam kondisi yang harmonis dan saling mengisi. Justru antara negara dan masyarakat berdiri dalam posisi yang saling berlawanan. Selanjutnya muncul pula relevansi Teori Negara Marxis yang menyatakan bahwa negara tidak lebih sebagai alat bagi kelas yang berkuasa untuk melakukan penindasan terhadap masyarakat. Netralitas negara pun menjadi tidak akan pernah terwujud.
Menurut Arif Budiman bahwa bentuk negara berdasarkan netralitasnya dapat dibagi menjadi empat[10], yaitu: (1) Negara Pluralis, negara dalam kedudukan tidak mandiri, karena mempunyai sifat demokratis. Yaitu, menerima partisipasi dan usulan-usulan secara penuh dari kalangan masyarakat; (2) Negara Marxis, negara yang juga tidak otonom, karena digunakan oleh kelas yang berkuasa untuk mewujudkan berbagai kepentingannya; (3) Negara Organis, negara sama sekali otonom, karena berinisiatif sendiri untuk mengambil berbagai kebijakannya; (4) Negara Korporatis, kedudukan negara relatif mandiri, karena mendengarkan berbagai usulan dari wakil masyarakat. Dalam bentuk negara ini, negara menentukan kelompok-kelompok tertentu yang boleh memberikan usulan.
Mengamati dan menjelaskan fenomena negara orde baru berdasarkan teori yang dikemukakan oelh Arif Budiman, maka negara orde baru adalah termasuk dalam klasifikasi negara Marxis yang yang tidak otonom sebab di dalamya telah terjadi hubungan simbiosis yang akut antara pengusasha dan orang-orang lingkar dalam pemerintahan yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Bahkan meski reformasi sudah bergulir dan kekuasan eksekutif dipangkas dengan sangat beringas melalui UU No. 22 Tahun 1999—yang mengamanatkan kepala daerah harus diangkat dan bisa diberhentikan oleh DPRD—, para aktor lokal tidak ubahnya dengan bentuk renkarnasi dan cetak ulang predator-predator saat orde baru dahulu. Reformasi terhambat dan jalan panjang menuju demokrasi nampaknya masih harus ditunggu lagi, tidak dalam waktu dekat ini jika ingin mencapai tingkat demokrasi yang tinggi.
Hambatan dari Para Elit dan Suksesi kekuasaan
Pareto (1848-1923), percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasan sosial dan politik yang penuh. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Menurut Pareto, masyarakat terdiri dari dua kelas[11] : (1) Lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi kedalam elit yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite). (2) Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elite. Pareto sendiri lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah, yang menurutnya berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat penting.
Untuk studi transisi demokrasi di indonesai dan suksesi politik, maka penjelasan yang umum digunakan berkaitan dengan analisisnya adalah teori elit yang memerintah dan seperti yang dikatakan oleh pareto, mereka yang berkuasa biasanya menggabungkan kekuasaan dan kelicikan untuk mencapai tujuan. Di bagian sebelumnya telah dijelasan bagaimana pengalaman pemerintahan orde baru hingga keruntuhannya dan pemerintahan Indonesia pascareformasi. Namun, terkait dengan proses transisi demokrasi dan prospeknya tersebut, nampaknya di era reformasi demokratisasi masih menuai cobaannya yang panjang. Elit yang diharapkan dapat berfikir beda dan berupaya dengan kesungguhan merubah ke arah yang lebih demokratis justru menunjukan sifat predatoris dan jiwa asalnya saat orde baru.
Melihat dari sisi elit masa orde baru, Soeharto adalah salah satu putra terbaik bangsa dengan segala kekurangan dan kelebihannya, menurut tipe-tipe bagaimana seorang pemimpin itu di lahirkan, Soeharto termasuk dalam teori sosial pemimpin yang lahir dari lingkungan dan tidak pernah ada yang menyangka sebelumnya bahwa Soeharto seorang anak petani di desa dapat menjadi seorang pemimpin bangsa sebesar Indonesia. Dia bukanlah seorang pemimpin yang lahir dari sebuah institusi formasl seperti partai politik, Soeharto lahir karena uasaha dan karismanya sebagai seorang tentara yang mampu memimpin sebuah pasukan dalam operasi yang sangat menetukan dan bersejarah di Indonesia (pemberantasan G30S/PKI).
Reformasi yang terjadi diakhir masa pemerintahan orde baru sebagai sebuah pintu gerbang suksesi politik terjadi melalui cara reformasi Blitzkrieg yang terjadi di perkotaan dalam waktu relatif cepat hampir mirip dengan revolusi. Proses transisi tersebut dalam rangka pereujudan sistem demokrasi, menghindari adanya absolutisme, dan juga bisa dikatakan alasan biologis dari usia Soeharto yang sudah cukup tua, meski alasan yang terakhir hampir tidak pernah diutarakan pada saat ada demonstrasi.
Harapa masyarakat sementara kemabali tertahan, elit yang diharapkan seharusnya dapat menjadi agen perubahan dalam transisi demokrasi ini, justru sebaliknya malah menjadi penghambat dan salah satu faktor kenapa reformasi berjalan seperti tanpa arah. Beitu juga dengan desentarlisai yang menjadi salah satu agenda penting demokrasi, diwarnai oleh praktik ulangan orde baru yang kolutif dan sarat dengan kepentingan. Seperti sudah menjadi tabiat dari manusia—atau ada hubungan dan warisan yang kuat dari orde baru karena masa pemerintahannya yang panjang—, sebenarnya sulit untuk dijelaskan, yang jelas para elit lama yang haus kekuasaan, predatoris, dan licik,[12] layaknya bandit dalam politik, telah resisten seperti hama yang terlalu lama diberi peptisisda, akan punya antibodinya sendiri dan hidup lebih lama lagi sebagai spesies yang bertahan dari upaya pemusnahan. Elit telah menjadi hamabatan. Demokrasi menuai badai, dan orde baru layaknya sebuah mitos dan kutukan, bangsa ini akan terus dihinggapi oleh bandit-bandit politik yang selalu berpura-pura main dalam lingkuangan kenegaraan dengan berbaju demokrasai.
Kesimpulan
Terlalau sempit jika kita memaknai tarnsisi demokrasi sebagai sebuah bagian dari pembangunan berkebangsaan hanya dari sisi suksesi politiknya saja, sebab suksesi politik bukanlah penentu utama apakah pembangunan politik itu akan membawa pada perbaikan atau tidak. Bisa saja sebuah transformasi pemerintahan justru hanya terjadi pergantian aktornya tapa diikuti oleh perubahan sistem dan perbaikan ke arah demokrasi. Jadi, yang perlu untuk dicermati lebih jauh lagi adalah bagaimana dampak dari sebuah transisi kekuasaan tersebut, siapa aktor setelahnya dan adakah perubahan yang berarti dari sisi demokrasai.
Orde baru sebagai sebuah rezim yang dapat dikatan otoriter telah lama mewariskan nilai dan kebiasaannya pada era baru—masa reformasi—pascaruntuhnya presiden Soeharto. Desentarlisasi yang dijadikan salah satu pionir utama pembangunan demokrasi rupanya tidak hanya mendistribusikan kekuasann dari pusat ke daerah, namun juga meninggalkan aktor-aktor lama orde baru yang resisten dan bersifat predatoris untuk terus bercokol di negeri ini. Transisi demokrasi dan proses suksesi politik dari Soeharto ke presiden-presiden setelahnya belum mampu menjawab tantangan untuk membuat bangsa ini lebih demokratis. Presiden Habibie misalnya, belum genap satu tahun memerintah, guncangan datang untuk memintanya segera turun dari kursi presiden, sampai seterusnya pascaHabibie, meski tidak dijelakan dalam makalah ini, sebenrnya juga menunjukan gejala yang sama, hambatan elit telah membuat demokratisasi di Indonesia berjalan lambat walaupun jika kita mau berbangga, bangsa ini adalah salah satu bangsa yang penerapan desentarlisasinya paing luas dan komprehensif.
Penulis tidak sepenuhnya menilai apa yang terjadai dalam makalah ini semuanya adalah negatif. Sedikit pembelaan, sebenarnya konsepsi demokrsi yang dikatakan oleh Huntington pun arahnya adalah bagi negara-negara industri yang ekonominya sudah mapan, berbeda dengan Indonesia yang sedang membangun. Bagaimanapun juga ini adalah prestasi tersendiri bagi bangsa Indonesia, setidaknya arus transisi dari kehidupan politik yang otoriter menuju demokrasi telah dimulai, tinggal saat ini kita perlu lebih cerdas dalam memanfaatkan momentum perubahan agar nantinaya demokratisasi yang terjadi ini bukanlah demokrasi negatif yang berpola melingkar untuk kembali ke fase awal. Mungkin pula saat ini sudah tidak relevan lagi jika kita mengatakan bahwa Indonesia adalah tipe negara Marxis seperti pembabakan yang dilakukan oleh Arif Budiman. Harapan untuk menjadi negara yang lebih baik akan terus ada, semoga kekeliruan persepsi desentralisasi (proses demokrasi), dan suksesi elit yang membawa perbaikan dapat segera terwujud dan terus menjadi cita-cita bangsa, bukan menjadikan demokrasi sebagai cita-cita, melainkan demokrasi hanya sebagai alat saja untuk mencapai cita-cita tersebut.
Daftar Pustaka
Budiman, Arif. 1996. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Fukuyama, Francis. 1992. The End of History and the Last Man. The Free Press.
Hadiz, Vedi R. 2005. Desentarlisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES
Huntington, Samuel P. Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norma. OK: University of Oklahoma Press: Norman Oklahoma. 1991.
Sorensen, George. 1993. Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World. Boulder: Westview Press.
Varma, S.P. 1999. Teori Politik Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sumber Jurnal :
Saifuddin Mahyudin dalam Jurnal Historisme (edisi khusus Lustrum), Kesaksian Sejarah: Jatuhnya Kekuasaan Lima Presiden Indonesia, edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
[1] George Sorensen, Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World, Boulder: Westview Press. 1993.
[2] Demokrasi Bagi Negara-Negara Berkembang, Tanpa Tahun dan Penerbit, Oleh Rendy R. Wrihatnolo (adalah staf perencana di Direktorat Industri, Perdagangan, dan Pariwisata – Bappenas) dan Riant Nugroho D (adalah Direktur Eksekutif Riset Bisnis Indonesia)
[3] Samuel P. Huntington, Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman, OK: University of Oklahoma Press: Norman Oklahoma. 1991.
[4] Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, The Free Press. 1992.
[5] Saifuddin Mahyudin dalam Jurnal Historisme (edisi khusus Lustrum), Kesaksian Sejarah: Jatuhnya Kekuasaan Lima Presiden Indonesia, edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
[6] Ibid., Hal 67
[7] Ibid., Hal 67
[8] Vedi R Hadiz, “Desentarlisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis” dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2005
[9] Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 1996
[10] Ibid.,
[12] Bagaimana tidak, dahulu mereka berlindung di bawah ketiak Soeharto, pada saat saoeharto akan jatuh mereka satu per-satu keluar dari lingkaran kekuasaan, dan kini kembali untuk melaksanakan paraktik-praktik lama tersebut di daerah-daerah.
0 Response to "Sedikit Tentang Transisi Demokrasi"
Posting Komentar