Identitas Kewarganegaraan: Keadilan dan Keanggotaan dalam Komunitas


Sebuah keniscayaan jika pada saat ini—kehidupan yang semakin mengglobal—batas-batas kenegaraan semakin kabur dan identitas individu berada di antara persimpangan yang sulit, menjadi masyarakat global, masyarakat suatu negara, atau kembali pada nilai-nilai yang sudah dibawa sejak lahir. Saat ini pula kewarganegaraan seperti menjadi sebuah kata kunci diantara para pemikir dan berbagai sudut pandang perpolitikan terkait masalah identitas, sehingga tidak heran jika di abad ini banyak lahir teoritisi dan praktisi sosial politik yang memandang teori Marsahal—tentang hak dan kewajiban warganegara—sudah tidak memadai lagi untuk digunakan mengingat kompleksitas dan perkembangan yang terjadi di masyarakat dan negara. Di tengah keterbutuhan akan teori kewarganegaraan untuk dapat lebih memahami fenomena sosial politik yang terjadi, rupanya persoalan kewarganegaraan itu sendiri belum menjadi perhatian para akademisi ilmu politik (setidaknya sebelum tahun 1990an). Akhirnya seperti yang saat ini sering terjadi di Indonesia atau belahan dunia lainnya, yaitu banyak timbul gerakan-gerakan kesukuan (kedaerahan) yang bersifat perlawanan guna menunjukan resistensinya terhadap perubahan yang terjadi, belum dapat dipahami dengan baik melalui ilmu politik. Imbasnya adalah pada tataran kehidupan nasional, identitas kewarganegaraan semakin terimpit pada dua masalah, di satu sisi globalisasi “mengkaburkan identitas dan batas nasional tersebut” dan di sisi lain masyarakat kesukuan (minoritas) sering melakukan perlawanan—bersifat enosentris—sebagai upaya mempertahankan identitas yang dimiliki.
Sebelum tahun 1990an dan dimasa-masa berkembang pesatnya pendekatan kelembagaan dalam ilmu politik, perhatian keilmuan lebih tertuju pada institusi-institusi negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), partai politik maupun organisasi penekan tingkat nasional. Di luar daripada itu dan semua yang tidak berkaitan langsung dengan negara, maka tidak mendapatkan perhatian lebih. Hal ini terjadi demikian sebab dalam pandangan mayoritas ilmuan politik negara merupakan sebuah subject matter[1]. Sekilas akhirnya nampak bagaimana ilmu politik tertinggal dengan ilmu-ilmu lainnya seperti sosiologi, antropologi, maupun ilmu hukum dalam memberikan perhatian pada masalah-masalah masyarakat non-negara. Dalam perkembnagan pendekatan politik selanjutnya,—pendekatan perilaku—sepertinya juga belum memberikan porsi perhatian yang berarti terkait masalah identitas dan kewarganegaraan, sebab para ilmuan politik masih cenderung melakukan generalisasi dan uniformisasi dalam kajian-kajiannya. Akhirnya lahirlah sebuah kesimpulan yang menyatakan warga negara sebagai individu, adalah suatu unsur pembentuk negara yang uniform, tidak berbeda, tidak berfariasi, dan tidak ada komunitas-komunitas politik lainnya.[2]
Will Kymlicka menilai bahwa pandangan terhadap warganegara yang demikian disebabkan oleh tradisi politik Barat yang sangat terpaku pada komunitas politik yang ideal seperti zaman polis di Athena kuno, yaitu masyarakat yang berasal dari satu keturunan, budaya, bahasa yang sama, dan menilai tidak percaya adanya heterogenitas. Di sini Kymlicka melakukan kritiknya terhadap ilmuan politik yang memandang eksistensi negara dan kebangsaan bersifat ilmiah dan terlalu memandang homogenitas masyarakat di dalam suatu negara, padahal dalam kenyataan hidup berpolitik, kepentingan itu selalu ada dan sering kali melandasi identitas seseorang. Sistem politik yang ada pun dinilai gagal menjelaskan maslah kewarganaegaraan yang majemuk tersebut. Sepeti contoh bagaimana sistem politik—melalui parpol—bekerja menampung aspirasi mayoritas dan mengartikulasikan, namun pada tahap akhir suara minoritas menjadi tidak dipandang dan terkesan diabaikan. Di dalam konsepsi yang demikian itu maka individu dilihat hanya sebagai satu identitas. Kymlicka menentang identitas yang sama dan hanya satu ini, apalagi setelah studi kewarganegaraan mulai muncul bersamaan dengan meningkatnya perhatian pada isu-isu multikulturalisme, masyarakat sispil maupun identitas politik.
Menurut Kymlicka, ada dua hal mendasar yang diabaikan oleh para ilmuan politik selama ini dengan konsep sistem politiknya tersebut, sehingga menyebabkan kelompok minoritas seakan dihilangkan identitasnya ditengah dominasi mayoritas. Dua hal ini adalah keadilan dan keangotaan dalam komunitas.[3] Usaha mengangkat isu kewarganegaraan ini juga dilakukan oleh Ruth Lister[4] setelah mengamati fenomena yang terjadi di awal tahun 1990an ketika runtuhnya tembok Belin dan munculnya negara-negara baru dibekas Uni Soviet. Pascaperistiwa tersebut lahirlah identitas-identitas kewarganegaraan baru yang berbeda dari sebelumnya dan memerlukan perhatian serta pengakuan yang setara. Sehingga walaupun berangkat dari masyarakat suku, nilai keadilan dan hak-hak komunitas yang minoritas itu tetap terjaga baik.
Setelah mengkritisi dan melihat fenomena kemunculan kembali konsep kewarganegaraan di dalam ilmu politik, Kymlicka—seorang yang juga penganut konsep kewarganegaraan liberal—menawarkan sebuah konsep yang disebut kewarganegaraan multikultur. Sebab jika hanya bertumpu pada konsep kewarnegaraan liberal yang ada—seperti diutarakan oleh Marshall, dan ternyata saat ini mulai terbukti tidak relevan—tidak akan bisa mengatasi persoalan gerakan-gerakan yang berbasiskan kelompok budaya di dalam kehidupan sosial. Kini pembahasan para ilmuan politik mulai tertuju juga pada persoalan politik berbasis budaya (bahasa, kelompok, etnis, dan budaya). Beberapa hal yang menjadi kajian bisa berupa analisa terhadap sebab-sebab munculnya gerakan separatisme suku-suku tertentu yang berusaha memisahkan diri dari negara, seperti konflik di Balkan, Quebec di Kanada, hingga kasus Papua di Indonesia.
Setelah memahami konsep kewarganegaraan multikultural—setidaknya paling relevan saat ini—dan menyadari adanya kepentingan yang berbeda dari setiap individu sehingga setiap penduduk tidak lagi dimaknai “harus memiliki identitas yang sama”, maka sepakatlah kita untuk membahas lebih jauh nilai-nilai keadailan dan keanggotaan dalam komunitas. Sebagai contoh analisa konsep tersebut kita akan mengaitkannya dengan kasus di Indonesia. Sejak berdirinya negara Indonesia sampai dengan masa reformasi ini, teori pembentukan negara yang paling umum diakui adalah bahwa Indonesia berasal dari bersatunya suku-suku dan kerajaan yang yang tersebar di kepulauan yang berbeda-beda untuk kemudian mengikrarkan diri masuk ke dalam kedaulatan NKRI, seperti yang tercatat dalam naskah sumpah pemuda 1928. Konsekuensi dari kenyataan tersebut adalah bahwa saat ini kaharmonisan kerukunan menjadi sesuatu yang berharga, apalagi pascareformasi 1998. Seolah-olah suku-suku dari beragam daerah itu sedang merayakan euforia kebebasan (berpendapat dan berkumpul) yang selama masa orde baru sangat dikekang. Hal ini cenderung berdampak negatif ketika semangat perbedaanlah yang diusung dan timbul sifat-sifat etnosentrisme dari setiap suku yang ada tersebut. Puncaknya adalah ketika lahir gerakan organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menuntut pemisahan diri dari NKRI.
Permasalahan ini bukan serta merta lahir begitu saja sejalan dengan adanya reformasi dan arus desentralisasi, namun seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kasus Papua merupakan salah satu puncak problematika kesukuan dalam kehidupan di negara yang multikultur. Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan orde baru wilayah-wilayah di luar pulau jawa apalagi yang terletak di timur Indonesia selalu mengalami diskriminasi pembangunan dan kesenjangan sosial. Pemerintahan berjalan secara terpusat di Jakarta dengan semangat mengusung tradisi Jawa dalam pemerintahan, sehingga terkesan pemerintahan orde baru ini menilai bahwa faktor pembentukan negara dan bangsa Indonesia adalah ikatan kekerabatan (darah dan keluarga) dan bersamaan suku bangsa, daerah, bahasa, adat istiadat suku tertentu atau yang disebut dengan ikatan primordialisme[5]. Hal ini menambah kecemburuan daerah-daerah lain yang terletak di luar Jawa. Alih-alih pembangunan terpusat agar dapat menciptakan tetesan manfaat ke daerah, masyarakat di Papua justru semakin terbelakang secara ekonomi dan pendidikan, pembangunan insprastruktur terabaikan, dan negara seolah tidak terlalu perduli. Dalam hal kewarganegaran, disahkannya Pancasila sebagai asas tunggal dalam seluruh aktivitas dan nafas kehidupan rakyat Indonesia[6], telah membuat semacam intergrasi yang semu dan penyamaan identitas yang dipaksakan. Hal tersebut dilakukan guna mencapai tingkat ekonomi dan keadaan politik yang baik, sehingga sekecil apapun berbedaan itu harus dihilangkan dan tabu bagi masyarakat untuk bicara sesuatu yang bersifat kesukuan. Kemudian ketika pluit reformasi ditiup, meluaplah perasaan-perasaan terdiskriminasi yang selama ini terpendam sebab negara telah lama mengabaikan kemajemukan, dan kalaupun mengakui itu, tidaklah mau identitas kesukuan ditampakan.
Jika menggunakan teori dari Kymlicka yang memadang setiap warganegara selain merupakan individu yang otonom juga merupakan bagian dari kelompoknya, rasanya permasalahan yang kerap timbul di Indonesia yang biasa didasari oleh kemajemukan identitas dapat ditangani denga baik. Dengan konsep kewarganegaraan liberal, hak-hak tradisional seperti pada masyarakat Papua haruslah lebih dilengkapi dengan hak-hak kelompok minoritas. Paradigma yang sekarang dibangun tidak lagi menilai semua warganegara adalah sama secara identitas, namun bagaimana mengakomodasi dan menjamin keadilan dari kelompok minoritas dalam sebuah masyarakat yang multikultur seperti Indonesia ini. Maka dengan konsep seperti ini, seorang warganegara yang berasal dari Papua selain merupakan individu, ia juga diakui sebagai anggota dari kelompok budaya tertentu[7]. Dengan begitu, diharapkan pergolakan atau konflik dengan motif ingin memisahkan diri dari NKRI dapat diredam, sebab hak-hak mengapresiasi identitas kesukuan telah terpenuhi, asalkan tidak menjurus pada etnosentrisme.
Selanjutnya, setelah konsisten pada penerapan konsep warganegara multikultur, terlihatlah bagaimana bentuk akomodasi pemerintah Indonesia terhadap masyarakat Papua khusunya yang terlibat OPM agar dapat menghentikan kegiatan yang bersifat makar tersebut. Bentuk akomodasi yang pertama adalah dipenuhinya hak-hak asasi universal setiap warganegara Indoneia yang berada di Papua dengan penerapan kebijakan otonomi khusus (otsus) dan kesempatan yang besar pada masyarakat Papua untuk menjadi Kepala Daerah di tempat kelahirannya sendiri[8]. Kedua adalah dipenuhinya hak-hak kelompok[9]. Kini masyarakat di Papua bebas melaksanakan kegiatan budayanya, terakhir bisa kita saksikan dilangsungkannya festival Sentani secara rutin yang menyuguhkan  keanearagaman budaya di Papua. Selain itu, tidak lagi ada paksaan-paksaan struktural seperti yang pernah dilakukan orde baru dahulu dengan menyeragamkan cara hidup orang Papua yang harus sama dengan orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa (direlokasikannya masyarakat suku ke perumahan-perumahan permanen, diberikan pakaian yang layak, dan diharuskan memakan nasi sebagai bahan makanan pokoknya).
Akhirnya, melalui sebuah contoh konsep kewarganegaraan multikultur yang coba diterapkan pada Masyarakat Papua tersebut mampu menjawab tantangan yang selama ini dihadapi oleh negara-negara yang terdiri dari banyak suku bangsa seperti Indonesia, setidaknya penerapan konsep tersebut tidak hanya memberikan manfaat bagi integritas kesatuan nasional tapi juga mampu memahami hubungan kewarganegaraan saat ini. Dengan memberikan hak-hak universal dan hak-hak kelompok, individu tidak lagi dipandang sama idetitasnya dengan individu yang lain dalam sebuah negara yang demokratis, sehingga keberadaan mereka yang minoritas dan selama ini termarjinalkan akan lebih dihargai dan meiliki kesempatan yang sama dengan warga negara yang lainnya dalam hal memperoleh akses kehidupan yang lebih baik.

Daftar Pustaka
Feith, Herbert dan Lance Castles. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kymlicka, Will. 2001. Politics in The Vernacular: Nationalism, Multiculturalism, and Citizenship. Oxford, New York: Oxford University Press
Lister, Ruth. 1997, Citizenship: Feminist Perspektives. London: MACMILLAN Press Ltd.
Soeseno, Nuri. 2010. Kewarganegaraan: Tradisi, Tafsir, dan Isu-Isu Kontemporer. Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Surbakti, Ramlan. 2007. Memahami ilmu politik. (cet. ke-6). Jakarta: Grasindo


[1] Nuri Soeseno, Kewarganegaraan: Tradisi, Tafsir, dan Isu-Isu Kontemporer, 2010, Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, hal. 12

[2] Ibid,. hal. 13
[3] Ibid,. hal. 16
[4] Ruth Lister , Citizenship: Feminist Perspektives, 1997, London: MACMILLAN Press Ltd.
[5] “Faktor-Faktor Pembentuk Identitas Bersama”, dalam Ramlan Surbakti. 2007. Memahami ilmu politik. (cet. ke-6). Jakarta: Grasindo. Hal 44.
[6] Lihat Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, 1998, Jakarta: LP3ES. Hal, 15. Dalam pemikiran Soekarno tentang Pancasila, sebenarnya berbeda dengan yang ditafsirkan dan diterapkan oleh pemerintah orde baru, ketika berpidato pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI Soekarno mengatakan bahwa Pancasila lahir sebagai perekat bangsa yang beraneka budaya ini. Hal ini berbeda dengan Pancasila yang digunakan oleh pemerintah orde baru, yaitu sebagai alat politik untuk memaksakan kesamaan idetitas dalam rangka menjaga stabulitas nasional. Pancasila oleh orde baru juga sudah disakralkan dan menjadi alat pembenaran satu-satunya dalam memberangus pihak-pihak yang berupaya “mengusik” jalannya pemerintahan.
[7] Menurut Koenjaraningrat, dalam kenyataannya konsep tentang “suku bangsa” lebih kompleks daripada yang dibayangkan. Ini disebabkan karena dalam kenyataan batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit, tergantung pada keadaan. Bisa jadi seorang individu selain memiliki identitas kebudaya, di dalam identitas kebudayaannya tersebut terdapat idenitas-identitas lainnya (seperti identitas berganda). Untuk lebih jelas lagi lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 1990, Jakarta: Rineka Cipta. Hal, 264-265
[8] Ini merupakan pemenuhan akan hak-hak minoritas orang Papua oleh negara yaitu hak melaksanakan pemerintahannya sendiri, hak  berupa dukungan finansial dan keamanan (hak polyetnik), serta hak perwakilan khusus yang berupa jaminan keterlibatan aktif dalam proses penyelenggaraan negara pada institusi sentral (contohnya ketika salah satu orang asli papua—Fredi Numberi—diangkat menjadi menteri perhubungan dalam Kabinet Indonesia bersatu yang kedua).
[9] Penjelasan lebih jauh terkait asas keadilan di dalam masyarakat Multikultur beserta hak-hak yang menyertainya, lihat Will Kymlicka, Multikultural Citizenship, 1995, Oxford: Clarendon Press, hal. 6, dalam Nuri Soeseno, Kewarganegaraan: Tradisi, Tafsir, dan Isu-Isu Kontemporer, 2010, Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Identitas Kewarganegaraan: Keadilan dan Keanggotaan dalam Komunitas"

Posting Komentar