“DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH: PROFIL DAN EKSISTENSI”

BAB 1
PENDAHULUAN
P
ropinsi Nanggroe Aceh Darrusalam merupakan propinsi yang mempunyai keunikan tersendiri di Indonesia. Keunikan ini tercermin dari budaya maupun histori propinsi tersebut. Aceh merupakan wilayah pertama di Nusantara yang berhasil mengadopsi nilai-nilai Islam dalam membangun tatanan pemerintahannya. Selain itu, Aceh merupakan the last standing province di Nusantara yang takluk, jika tidak takluk sama sekali, oleh kekuatan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1945, Aceh memiliki dinamika tertentu yang menghasilkan dampak-dampak sosial maupun politik. Hal ini tercermin ketika Aceh sebagai wilayah yang secara historis bersifat mandiri dengan Kerajaan Islamnya harus menerima fakta bahwa wilayah Aceh menjadi keresidenan, satu tingkat  dibawah propinsi Sumatera Utara. Hal ini menciptakan suatu dinamika sosial politik yang akhirnya terwujud dalam pemberontakan-pemberontakan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi umumnya timbul akibat rasa kecewa dari segelintir elit di Aceh yang merasa dikhianati oleh Pemerintah NKRI. Untuk mengakomodasi permasalahan di Aceh ketika itu, pemerintah kemudian menjadikan Aceh sebagai propinsi dengan status Daerah Istimewa pada tahun 1959. Namun kenyataannya, pemberian status daerah istimewa tersebut tidak cukup dalam mengakomodir kepentingan-kepentingan yang ada. Ini terbukti ketika pada masa Pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, gejolak-gejolak yang bersifat separatisme muncul atas dasar ketidakadilan dalam pembagian hasil sumber daya alam yang dieksploitasi antara pemerintah pusat dan rakyat Aceh sendiri.
Perlawanan dari golongan separatis di Aceh tercermin dalam pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM yang dipimpin oleh TGK. Cik Hasan di Tiro. GAM yang bersifat sekuler ini menuntut pemisahan diri atau wilayah Aceh dari NKRI (separatisme). Gerakan separatisme yang memakan banyak korban jiwa dan kemanusiaan ini berakhir dengan disepakatinya perdamaian yang disahkan melaluli Memorandum of Understanding di Helsinski, Finlandia. Hasil kesepakatan ini diimplementasikan melalui disahkannya UU nomor 11 tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Implementasi undang- undang ini kemudian dinyatakan dengan dibentuknya partai-partai lokal yang berafiliasi pada etnis dan agama. Selain partai perwujudan yang terbentuk adalah berdirinya Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang berwenang dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan hak otonomi khusus yang sudah diperoleh pada tahun 1999.
Lahirnya pemerintahan yang mandiri di Aceh pascabersatunya kembali GAM ke dalam pangkuan ibu pertiwi—termasuk mengenai perwakilan dan partisipasinya dalam politik—dan diberlakukannya desentralisasi sejak 1 Januari tahun 2000,[1] setidaknya memberian harapan dan peluang bagi terciptanya pemerintahan Aceh yang mandiri, dewasa, dan berorientasi pada pembangunan lokal, termasuk pula dibentuknya DPRD aceh yang bernafaskan syariat Islam. Terlepas dari adanya isu politis terkait kembalinya GAM dan kewenangan besar yang diberikan pada Aceh untuk mengatur bahkan membuat hukumnya sendiri, fenomena kelembagaan legislatif (perwakilan politik) menjadi menarik untuk dicermati. Representasi masyarakat dengan hukum Islam yang berlaku di sana secara umum sejak awal diharapkan mampu mengawal jalannya Qanun dan proses legislasi di Aceh. Dengan membedakan bentuk parlemen tersebut dengan parlemen di daerah lainya serta menggambarkan perkembangan dari lembaga tersebut, makalah ini akan mencoba mengualas lebih jauh profil dari sebuah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) secara komprehensif dan tantangannya saat ini.
1.1              Rumusan Permasalahan
Sebagai propinsi dengan otonomi khusus dalam menjalankan tradisi dan hukum Islam, Pemerintahan Aceh beserta juga Dewan Perwakilan Rakyat Aceh harus turut menjalankan tugasnya sesuai dengan nilai dan asas ke-Islaman yang tidak berlaku secara legal formal di tingkat pemerintahan nasional yang memiliki Pancasila sebagai asas utamanya. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
  1. Bagaimana historiografi terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Aceh?
  2. Apa perbedaan antara Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dengan Dewan Perwakilan Rakyat lainnya yang tidak memiliki otonomi khusus?
1.2              Kerangka Konseptual
Di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikatakan bahwa kedaulatab berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menururt Undang-Undang Dasar. Berdasarkan amandemen yang telah dilakukan terhadap UUD Republik Indonesia tahun 1945 maka terdapat beberpa lembaga negara, anatara lain: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).[2] Sebelum ada perubahan terhadap UU No, 32 Tahun 2004 dan UU No. 22 Tahun 1999, lahir dan menguatnya DPRD di daerah-daerah tidak lepas dari realitas historis yang terjadi pada masa pemerintahan orde baru.[3] Kemudian dengan bergulirnya reformasi dan masuknya Indonesia pada masa yang disebut transisi demokrasi telah memaksa terjadinya penyebaran kekuasaan dan wewenang ke daaerah-daerah sebagai sebuh prasyarat dari pemerintahan yang terdesentralisasi. Maka keberadaan DPRD maupun DPR Aceh adalah semata-mata bentuk pengakomodasian kedaulatan rakyat dari sebuah pemerintahan yang demokratis.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH[4]
Pasal 40
(1)   DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pasal 41
(1)   DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Pasal 51
(1) DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi, yang beranggotakan lebih dari 75 (tujuh puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.
(2) DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi, yang beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi.

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH
Pasal 1
(10) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Aceh yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(11) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten/kota (DPRK) adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(12) Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
(14) Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
(16) Majelis Permusyawaratan Ulama yang selanjutnya disingkat MPU adalah majelis yang anggotanya terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA.
Pasal 8
(1) Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.
Pasal 22
(1)   DPRA dan DPRK mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Pasal 31
(1) DPRA dapat membentuk paling sedikit 5 (lima) komisi dan paling banyak 8 (delapan) komisi.
(2) DPRK yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 34 (tiga puluh empat) orang membentuk 4 (empat) komisi, dan yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang atau lebih membentuk 5 (lima) komisi.

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Kehidupan masyarakat Aceh yang demikian terartikulasi dalam perspektif modern dalam bernegara dan berpemerintahan yang demokratis serta bertanggung jawab. Tatanan kehidupan yang demikian merupakan perwujudan di dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan.[5]
Dalam perjalanan penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dipandang kurang memberikan kehidupan di dalam keadilan atau keadilan di dalam kehidupan. Kondisi demikian memunculkan pergolakan masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk reaksi. Respon Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat melahirkan salah satu solusi politik bagi penyelesaian persoalan Aceh berupa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pelaksanaannya undang-undang tersebut belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi. Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dengan otonomi seluas-luasnya.
Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Satu hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan.


BAB 2
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH: PROFIL DAN EKSISTENSI
2.1       Historiografi dan Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh[6]
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang kini bernama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, pertama kali terbentuk pada tahun 1945. Ketika itu, DPRA masih bernama Komite Nasional Daerah (KND). Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Peralihan dari UUD 1945 dan disusul Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945. KND yang diketuai pertama kali oleh Tuanku Mahmud kemudian dilanjutkan oleh Mr. S. M. Amin berubah nama menjadi DPRD pada tahun 1947. Keresidenan Aceh dijadikan Propinsi oleh Wakil Perdana Menteri sesuai PP No. 8 tahun 1948 pada tanggal 17 Desember 1948 dan  DPRD Aceh berdiri sesuai dengan PP No. 22 Tahun 1948 dari tahun 1949 - 1950 dengan Ketua Tgk. Abdul Wahab. Namun, leburnya Propinsi Aceh pada tahun 1950 menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Utara menyebabkan DPRD di Aceh dibubarkan.
Kemudian Propinsi Aceh lahir kembali sesuai dengan UU No. 24 Tahun 1956.  Maka dibentuklah DPRD Peralihan pada  1957 dengan ketua pertama Tgk. M. Abduh Syam  yang memimpin hingga 1959. Pada dan tahun 1959-1961 diketuai Tgk. M. Ali Balwy. Selanjutnya sesuai dengan Perpres No. 5 Tahun 1960 dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRDGR) tahun 1961-1964 diketuai Gubernur Aceh A. Hasjmy. Sesuai dengan UU No. 181 Tahun 1965 DPRDGR Tahun 1965-1966 diketuai oleh Gubernur Nyak Adam Kamil, PD. Ketua DPRD periode 1966-1968 Drs. Marzuki Nyak Man. Ketua DPRD periode 1968 - 1971 H. M. Yasin. Dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/MISSI/1959 (Missi Hardi), maka sejak tanggal 26 Mei 1959, Aceh diberi status "Daerah Istimewa" dengan sebutan lengkap Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Sejak saat itu Aceh memilipki hak otonomi yang luas dalam bidang Agama, Adat dan Pendidikan. Selanjutnya DPRD di Aceh, ditetapkan sesuai hasil Pemilu.
            2.1.1    Tugas DPRA[7]
1.      Interpelasi, mengajukan usul sekurang-kurangya 5 (lima) Anggota DPRD kepada Pimpinan DPRD untuk meminta keterangan kepada Gubernur secara lisan maupun tertulis mengenai Kebijakan Pemerintah Daerah, yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara
2.      Angket, mengajukan usul sekurang-kurangnya 5 (lima) Anggota DPRD kepada Pimpinan DPRD untuk mengadakan penyelidikan terhadap Gubernur dan Pemerintah Daerah yang diduga bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
3.      Menyatakan pendapat, mengajukan usul sekurang-kurangnya 5 (lirna) Anggota DPRA kepada Pimpinan DPRA untuk menyatakan pendapat terhadap Kebijakan Gubernur atau mengenai kejadian luar biasa di daerah
4.      Mengadakan perubahan atas rancangan Qanun
5.      Mengajukan Rancangan Qanun
6.      Menentukan Anggaran Belanja Sekretariat dan DPRA
7.      Meminta keterangan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintah, Perusahaan Swasta, BUMN, BUMD dan warga masyarakat
8.      Menetapkan peraturan tata tertib DPRA
9.      Menetapkan kode etik DPRA
Selain hak yang tersebut diatas, Anggota DPRA juga mempunyai hak antara lain :
1.   Imunitas
2.   Mengajukan pertanyaan
3.   Menyampaikan usul dan pendapat
4.   Memilih dan dipilih
5.   Membela diri
6.   Protokoler
7.   Keuangan dan administrasi
Pimpinan DPRA terdiri dari seorang Ketua dan 3 (tiga) Wakil Ketua, tugasnya dilakukan secara kolektif. Mereka dipilih dari dan oleh Anggota berasal dari Fraksi yang berbeda
2.1.2    Kewajiban DPR Aceh
Dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya, anggota DPRA mempunyai wewenangnya, anggota DPRA mempunyai kewajiban:
1.      Mengamalkan Pancasila
2.      Melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala Peraturan Perundang-undangan
3.      Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah
4.      Mempertahankan dan memelihara kerukunan Nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Daerah
5.      Mengupayakan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah
6.      Menyerap, menghimpun, menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat
7.      Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan
8.      Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih

2.1.3        Wewenang DPRA[8]
1.      Membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama.
2.      Melaksanakan pengawasan terhadap Pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lain.
3.      Melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh dalam melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta penanaman modal dan kerjasama internasional.
4.      Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
5.      Memberitahukan kepada Gubernur dan KIP tentang akan berakhirnya masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur.
6.      Memilih Wakil Gubernur ketika terjadinya kekosongan jabatan Wakil Gubernur;
7.      Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemenntah Aceh.
8.      Memberikan pertimbangan terhadap rencana kerja sama internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan Aceh.
9.      Memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh.
10.  Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
11.  Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan.
12.  Mengusulkan pembentukan KIP Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan.
13.  Melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan serta penggunaan anggaran kepada KIP Aceh dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
2.2      Unsur Perwakilan DPRA: Mayoritas Partai Lokal
Sejak tahun 2009, DPRA di Aceh melibatkan peranan enam partai lokal yang ada di Aceh. Hal ini dimungkinkan oleh karena implementasi Undang-undang No. 11 tahun 2006 yang secara resmi membahas pemerintahan Aceh yang relatif otonom dan khusus. Tak ayal, Aceh sebagai propinsi yang pernah memiliki sejarah berkonflik dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mendapatkan hak-hak spesial yang tidak diperoleh oleh daerah-daerah lain yang relatif stabil dari gerakan separatisme.
Melalui hasil pemilihan umum pada tahun 2009, dapat dilihat data bahwa dari 69 kursi yang tersedia di DPRA, 33 kursi atau 47,8% di antaranya berasal dari Partai Aceh, partai lokal yang memiliki kedekatan historis dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Partai lokal lain yang juga mendapatkan kursi adalah Partai Daulat Aceh yang memperoleh 1 kursi atau 1,5% suara. Selain itu, 35 kursi lainnya berasal dari partai nasional yang memiliki kedekatan historis juga dengan Aceh, misalnya Partai Demokrat yang memperoleh 10 kursi atau 14,5% suara, Partai Golongan Karya yang memperoleh 8 kursi atau 11,6% suara, Partai Amanat Nasional yang memperoleh 5 kursi atau 7,3% suara, Partai Keadilan Sejahtera yang memperoleh 4 kursi atau 5,8% suara, Partai Persatuan Pembangunan yang memperoleh 3 kursi atau 4,4% suara, Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Patriot, Partai Bintang Bulan dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia masing-masing memperoleh 1 kursi dengan perolehan 1,5% suara.[9]


2.3      Perbandingan DPRA dengan DPRD Propinsi Lain (Non-Otonomi Khusus)
Secara umum, perbedaan antara DPRA dengan DPRD di propinsi-propinsi lainnya yang tidak memiliki hak otonomi nyaris memiliki kesamaan yang banyak, terlebih jika kita membandingkannya dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Secara fungsi, antara DPRA dan DPRD memiliki fungsi-fungsi yang sama, seperti kontrol, budgeting, legislasi yang tidak berbeda sama sekali.
Perbedaannya dapat dilihat jika kita membandingkan nama penyebutan dari dua institusi tersebut. Jika di Aceh, produk keluaran yang dihasilkan oleh DPRA bernama Qanun dan rancangannya disebut Rancangan Qanun (raqan). Dalam menjalankan fungsinya, DPRA mengawal pelaksanaan Qanun, yang berbeda dengan DPRD ketika fungsinya mengawal pelaksanaan UUD 1945. Mengingat Aceh merupakan propinsi dengan hak otonomi khusus, DPRA memiliki kewenangan dalam melakukan rencana-rencana hubungan internasional yang tidak dimiliki oleh DPRD lainnya. Di dalam DRPA, terdapat 5-8 komisi, ketika di DPRD pada umumnya hanya terdapat 4-5 komisi. Hal ini disebabkan oleh partisipasi partai-partai lokal yang terbilang cukup unik di wilayah tersebut. Untuk periode 2009-2014, ada 7 komisi yang dinamakan berdasarkan alfabetis–A, B, C, D, E, F, dan G. Dalam DPRA, terdapat badan yang bernama Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang dalam DPRD pada umumnya adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).


BAB 3
KESIMPULAN

Sebagai propinsi yang memiliki hak otonomi khusu di Indonesia melalui penerapan UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 11 Tahyn 2006, Aceh memiliki tata pemerintahan yang cukup berbeda dengan wilayah-wilayah lain, khususnya yang tidak memiliki hak otonomi khusus. Hal ini dapat dilihat dari studi kasus kami dalam makalah ini yaitu perbandingan lembaga legislative di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dkenal dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Secara umum jika dilahat dari unsur-unsur kelembagaan, fungsi, dan tugas serta kewenangannya DPRA tidaklah terlalu jauh berbeda dengan DPRD yang ada di propinsi-propinsi non-otonomi khusus di Indonesia. Meskipun begitu, terdapat pula perbedaan-perbedaan mendasar dianatara DPRA dengan DPRD pada umumnya, seperti produk keluaran yang dihasilkan oleh DPRA bernama Qanun dan rancangannya disebut Rancangan Qanun (raqan). Dalam menjalankan fungsinya, DPRA mengawal pelaksanaan Qanun, yang berbeda dengan DPRD ketika fungsinya mengawal pelaksanaan UUD 1945. Ditamabh lagi jumlah komisi yang berbeda dengan DPRD di daerah lain tersebut, ketika DPRA justru memiliki jumlah komisi yang lebih banyak dibandingkan DPRD pada umumnya, hal ini mutlak terjadi ketika kita melihat bahwa Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki hak otonomi khusus yang memperbolehkan eksistensi partai-partai lokal di daerah tersebut.
Sebagai daerah yang pernah memiliki sejarah berkonflik dengan Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI), eksistensi lembaga legislatif yang unik ini diharapkan mampu menjawab probelematika yabg pernah terjadi antara pemerintah dengan Aceh. Mengingat, dengan diperbolehkannya beberapa faktor yang berbeda dengan prinsip Pancasila dan UUD 1945 di Aceh, hal ini diharapkan mampu menjawab permasalahan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
Buku Pedoman DPR RI. 2010. Perspektif Kegiatan Humas Setjen DPR RI dalam Mensosialisasikan Kegiatan Dewan. Jakarta: Diterbitkan oleh Bagian Humas (Biro Humas dan Pemberitaan)
Gunawa, Jamil dkk.  2005. Desentralisasi, Globalisasi, dan Demokrasi Lokal. Jakarta: LP3ES
Marijan, Kacung. 2006.  Demokratisasi di Daerah. Surabaya: Pustaka Eureka

Sumber Konstitusi :
UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU Republik Indonesia No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
Penjelasan UU Republik Indonesia No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

Sumber Internet :
www.parlemen .net
http://dpra.nad.go.id/index.php?action=generic_content.main&id_gc=261, diakses pada 2 Mei 2011, pukul 20.23 WIB.
http://dpra.nad.go.id/index.php?action=generic_content.main&id_gc=267, diakses pada 2 Mei 2011, pukul 20.32 WIB.
http://dpra.nad.go.id/index.php?action=generic_content.main&id_gc=266, diakses pada 2 Mei 2011, pukul 20.49 WIB.
http://mediacenter.kpu.go.id/images/mediacenter/hasil_pileg_2009/nad.pdf, diakses pada 2 Mei 2011, pukul 21.19 WIB.


[1] Jamil Gunawan, dalam Desentralisasi, Globalisasi, dan Demokrasi Lokal, Jakarta: LP3ES, (2005), hal. 66
[2] Perspektif Kegiatan Humas Setjen DPR RI dalam Mensosialisasikan Kegiatan Dewan, diterbitkan oleh Bagian Humas (Biro Humas dan Pemberitaan), Jakarta, (2010), hal. 3
[3] Kacung Marijan, Demokratisasi di Daerah, Surabaya: Pustaka Eureka, (2006), hal. 150
[4] Data diambil setelah diolah dan dipilah sesuai keterbutuhan akan pasal-pasal yang akan dijadikan landasan teori makalah ini
[5] Penjelasan Umum terkait UU No. 11 Tahun 2006. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net, diunduh pada tanggal 26 April 2011, pukul 14.35
[6] Sejarah Singkat Berdirinya DPRA Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Sejak Tahun 1945
http://dpra.nad.go.id/index.php?action=generic_content.main&id_gc=261, diakses pada 2 Mei 2011, pukul 20.23 WIB.

[7] Data diperoleh dari situs http://dpra.nad.go.id/index.php?action=generic_content.main&id_gc=267, diakses pada 2 Mei 2011, pukul 20.32 WIB.
[8] Data diperoleh dari situs http://dpra.nad.go.id/index.php?action=generic_content.main&id_gc=266, diakses pada 2 Mei 2011, pukul 20.49 WIB.
[9] Data diperoleh dari situs http://mediacenter.kpu.go.id/images/mediacenter/hasil_pileg_2009/nad.pdf, diakses pada 2 Mei 2011, pukul 21.19 WIB.

Read Users' Comments (0)

0 Response to "“DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH: PROFIL DAN EKSISTENSI”"

Posting Komentar