Mazhab Frankfurt (sedikit)

BAB I
PENDAHULUAN


1.1       LATAR BELAKANG
Mazhab Frankfurt merupakan kumpulan beberapa pemikir Jerman yang mengangap bahwa pemikiran Marx telah didistorsi oleh Engels dan para pemikir Lenin-Marxis yang diakibatkan oleh kegagalan revolusi kaum pekerja di Eropa Barat setelah Perang Dunia I dan oleh bangkitnya Nazisme di negara yang secara ekonomi, teknologi, dan budaya maju yaitu Jerman. Oleh Karena itu, mereka merasa harus memilih bagian mana dari pemikiran-pemikiran Marx yang dapat menolong untuk memperjelas kondisi-kondisi yang Marx sendiri tidak pernah lihat.
 Pada awalnya pemikiran Marx di jadikan tolak ukur pemikiran sosial aliran tersebut. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa aliran Frankfurt merupakan perwujudan usaha untuk kembali mengkaji pemikiran pemikiran Hegelian Kiri (Hegelian Leftism), yaitu pemikiran Hegel sekitar tahun 1840-an. Sama halnya dengan generasi awal pencetus teori kritis, seperti Hegel dan Immanuel Kant, tokoh-tokoh Frankfurt tertarik degan kajian mengenai kajian filsafat dan ilmu-ilmu non alamiah seperti sosiologi, ekonomi, musikologi, psikologi, Ilmu politik dan lain-lain.
Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat. Makalah ini membahasa kontruksi pemikiran teori kritik ala para pemikir Frankfurt School sekaligus mengkritik kajian pemikirannya.

1.2       PERMASALAHAN
Setidaknya ada beberapa pertanyaan penelitian yang kami ajukan dalam makalah ini, yaitu:
1.        Bagaimana kontruksi pemikiran para pemikir Frankfurt School dari segi kajian sejarah terhadap pemikirannya?
2.        Relevansikan pemikiran Frankfurt School dalam konteks kekinian?
BAB II
PEMBAHASAN


2.1       SEJARAH PERKEMBANGAN FRANKFURT SCHOOL
Perkembangan pemikiran Marx pasca kematian Marx telah menimbulkan polemik berkepanjangan, pembakuan istilah ‘marxisme’ oleh Engels, sebagai akibat dari kesalahan interpretasi ajaran marx telah memecah pemikiran marxisme ke dalam berbagai varian baru. Pemikiran marx, dalam berbagai variannya memiliki dasar pemikiran serupa, yang biasanya memuat unsur analisis kelas berdasarkan konflik, kritik ideologi, alienasi manusia modern, dan emansipasi.
Lenin menyebut tahap pemikiran Marxisme sebagai ‘the greatest representatives of philosophy, political economy and sosialism’. Asumsi tersebut tidak sepenuhnya salah, namun adalah suatu hal yang jelas terlihat, bahwa marxisme menjadi bermuatan ideologis. Pengkultusan marxisme menjadi sebuah doktrin yang kaku sejalan dengan lahirnya komunisme yang ditandai oleh berhasilnya revolusi Bolshevik yang dipimpin oleh Lenin. Lenin juga mengkombinasikan teori perjuangan kelas Marx dengan pemikirannya yang menekankan pada pentingnya usaha-usaha revolusi, Lenin juga menambahkan teori kapitalisme Marx, bahwa perkembangan kapitalisme tertinggi mencapai bentuknya yang sempurna dalam bentuk imperialisme dan kolonialisme untuk memperluas pasar.
Hegemoni Marxisme orthodoks memaksa intelektual barat, khususnya intelektual Marxis Jerman untuk membentuk sebuah school of thought baru sebagai aliran pemikiran pembaharu, sekaligus sebagai revisi atas pemikiran marxisme orthodoks. Marxisme orthodoks memusatkan kajiannya pada kajian Marx tua, kajian marx yang ekonomis, anti humanis dan berusaha untuk membuktikan bahwa sosialisme yang diusungnya adalah ‘scientific sosialism’. Berbeda dari Marxisme orthodoks, para ‘revisionis marxis’ menolak untuk menggunakan analisis marxis orthodoks, banyak konsep-konsep fundamental Marxisme yang dianggap telah usang dan tidak lagi relevan, salah satunya adalah runtuhnya kapitalisme akibat kontradiksi internal yang tidak dapat dielakan. Kaum revisionis menekankan pada pentingnya pemikiran Marx muda yang humanis, Marx yang tergolong dalam young hegelian. Pemikiran marx muda saja tidak mencukupi untuk menjadi sebuah pisau analisa yang baru, tulisan-tulisan Georg Lukacs , Eduard Bernstein dan Karl Korsch juga memberikan pengaruh penting. Munculnya perbedaan penafsiran atas marx tua dan muda disebabkan oleh terlambatnya tulisan-tulisan Marx muda pasca kematiannya selama puluhan tahun.
Salah satu dari revisionis marxis yang berkembang pesat dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap akar pemikiran marxisme di abad ke dua puluh adalah Mazhab Frankfurt atau Frankfurt School. Ada beberapa kondisi sosial yang melatarbelakangi kegelisahan Horkheimer dan kawan-kawan yang pada akhirnya melahirkan teori kritik dalam mahzab Frankfurt ini.[1] Pertama, para pengikut mahzab Frankfurt ini sebenarnya mengalami kekecewaan terhadap pengikut ortodoks pemikiran Marx yang mereka anggap telah meniru secara langsung dan sempit gagasan-gagasan Marx untuk menjelaskan kondisi sosial pada saat itu. Padahal, dalam menciptakan gagasan-gagasan tersebut, Marx tidak berada pada kondisi sosial yang sama, dimana pasca-Perang Dunia I dan bangkitnya Nazisme, teknologi, perekonomian, dan budaya di Jerman semakin maju. Maka tidak heran jika mahzab ini dianggap melawan keortodoksan pemikiran Marxisme.
Kedua, aliran neo-positivisme yang saat itu sedang berkembang ternyata mendapat perhatian dan kecaman dari Frankfurt School ini. Neo-positivisme atau yang disebut juga positivisme logis, empirisme logis, filsafat analitis, atau filsafat bahasa, adalah aliran yang mengalihkan perhatiannya pada bahasa sebagai objek penyelidikan dan menganggap hal menciptakan kejelasan di bidang bahasa sebagai sasaran aktivitas mereka. Teori kritis yang dilahirkan oleh mahzab Frankfurt ini sangat bertolakbelakang dengan neo-positivisme. Berdasarkan cara kerjanya yang dialektik, teori kritik tidak mendewakan ilmu pengetahuan dan memandangnya sebagai satu-satunya unsur yang menentukan kehidupan. Teori kritis lebih menganggap ilmu pengetahuan sebagai salah satu unsur yang tidak dapat dilepaskan dari unsur lainnya, yang berkaitan satu sama lain secara dialektik. Tidak seperti neo-positivisme, teori krikit mahzab Frankfurt ini tidak netral atau value-free, tetapi berpihak pada nilai-nilai yang dianggapp dapat menentang keadaan yang mapan, juga secara bersamaan mengusahakan bagaimana agar nilai-nilai tersebut dapat terwujud. Meskipun demikian, mahzab Frankfurt ini tidak menganggap remeh hal-hal empiris, mereka menginginkan agar sosiologi tidak menjadi sekedar duplikat dari realitas sosial yang ditelitinya. Lebih dari itu, mereka ingin menemukan esensi dari suatu realitas sosial.

2.2       KHASANAH PEMIKIRAN FRANKFURT SCHOOL
            Frankfurt School merujuk pada sekumpulan sosial scientists yang memiliki basis kelembagaan berupa Institute of Sosial Reseach yang berada di Frankfurt sebagai pusat penelitian sosial independen.  Kelahiran lembaga ini bermula dari seorang yang bernama Felix Weil yang dikenal sebagai political scientist yang memiliki ketertarikan terhadap pemikiran Marxisme. Ia menilai lembaga-lembaga penelitian sosial yang ada pada saat itu tidak meneliti tentang sejarah gerakan buruh dan asal usul antisemitisme.[2]
Diantara sosial scientist yang bergabung dengan Frankfurt School adalah Friedrich Pollock (ekonom), Leo Lowenthal (sosiologi kesusastraan), Walter Benjamin (ilmu kesusastraan), Theodor W. Adorno (musikologi, filsafat, psikologi, sosiologi), Erich Fromm (psikoanalisa), dan Hebert Marcuse (filsafat).[3] Kesemua sosial scientist yang tergabung dalam Frankfurt School berhasil memengaruhi dunia pemikiran sosial hingga kemundurannya pada tahun 1970-an yang disebabkan kematian figur penting dan tidak adanya gebrakan pemikiran baru dalam Frankfurt School hingga kemunculan Juergen Habermas. 
Penjelasan mengenai  dasar pemikiran Frankfurt School yang berdiri mulai tahun 1923 tak terlepas dari keberhasilan revolusi Bolsevik di Rusia dan kegagalan revolusi  di negara-negara  Eropa Tengah terutama Jerman.[4] Dua peristiwa penting tersebut yang menjadi pemicu para intelektual new left untuk mengkaji kembali teori-teori Marxis yang berkaitan dengan akal budi dan praktik dalam kondisi sosial yang baru sebagai titik tolak pemikiran meskipun tetap berdasarkan semangat pemikiran Immanuel Kant dengan teori kritisisme idealnya dan pemikiran kritisisme historis dialektisnya Hegel yang menjadi pencetus teori kritis.[5]

Fase Perkembangan Pemikiran Frankfurt School
            Dasar pemikiran pokok Frankfurt School adalah teori kritis yang mencoba mengkritisi positivisme dan empirisisme yang mempengaruhi perkembangan ilmu sosial yang memisahkan antara fakta-fakta dan fraksis yang bersifat parsial. Pemisahan ini yang ditolak oleh Frankfurt School dan berusaha untuk mengubah paradigma tersebut sehingga dalam penelitian ilmu sosial dapat bersifat interdisipliner. Secara umum fungsi teori kritis dapat diartikan sebagai emansipatoris. Perkembangan teori kritis Frankfurt School juga beriringan dengan fase perkembangan lembaga tersebut yang dimulai dengan fase pertama dimana kajian-kajian teoritis lebih berorientasi empiris dan menekankan pendekatan ekonomi dalam mengkaji fenomena-fenomena sosial.Hal ini disebabkan pengaruh dari Carl Grunberg sebagai seorang ekonom dan sejarawan sosial. Perkembangan fase kedua Frankfurt School merupakan reorientasi dari kajian-kajan teoritis yang pertama dimana Horkheimer mengubah dari yang lebih bersifat ekonomis historis menjadi lebih bersifat filosofis. Fase kedua ini yang menjadi landasan teori kritis Frankfurt School. Fase ketiga merupakan fase reformasi dari teori kritis sebagai pengembangan dari teori sebelumnya yang dilakukan oleh Jurgen Habermas[6].    

Asumsi Teori Kritis
            Kemunculan teori kritis seperti yang telah disinggung diatas tak terlepas dari kegagalan teori tradisional yang diciptakan oleh positivism yang bersifat netral, artinya penelitian objektif haruslah dipisahkan dari pengaruh nilai-nilai. tujuan dari terbentuknya teori kritis adalah memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional.[7] Horkheimer yang didaulat sebagai peletak dasar-dasar teori kritis Frankfurt School menjelaskan tiga ciri-ciri dari teori kritis tersebut.[8]
Teori kritis curiga dan kritis terhadap masyarakat yang mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Bentuk penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat disebabkan oleh sistem masyarakat dewasa ini yang yang didasarkan oleh nilai tukar dimana semuanya dianggap sebagai komoditas. Sifat dan kritik diarahkan pada masyarakat yang mekanismenya diatur oleh nilai tukar.   
Teori kritis yang berpikir secara historis, artinya berpijak pada masyarakat yang historis dimana teori kritis berakar pada situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu. Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek  atau secara sederhana teori kritis tidak memisahkan antar pengetahuan dan tindakan, serta rasio teoritis dan rasio praktis. Rasio praktis yang dimaksud terbebas dari intervensi rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat semata. Frankfurt School menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bersifat bebas nilai seperti yang disebutkan oleh kalangan positivism adalah suatu hal yang tidak mungkin.

Kritik Ideologi
Sebelum menjelaskan lebih jauh kritik ideologi yang dikemukakan oleh Erich Fromm, terlebih dahulu perlu dijelaskan mengenai kritik ideologi berdasarkan perspektif Marx. Dari sekian banyak pemikiran Marx yang dirasa begitu atraktif dan berpengaruh—pernyataan ini diakui juga oleh Franz Magnis Soeseno[9]—sepertinya usaha emansipasilah yang memiliki maksud dan tujuan paling besar dari butir-butir asumsinya pemikirannya tersebut. Sering Marx mengatakan bahwa manusia itu perlu diemansipasi[10], sebab keadaan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat adalah kenyataan kuasanya kelas kapitalis dalam banyak hal terhadap kelas para pekerja atau proletar. Buruh dijauhkan dari hak-haknya sebab kelas kapitalis selalu berupaya mengakumulasi modal dan memperbudak buruh demi kepentingan-kepentingannya tersebut. Oleh karena masyarakat kapitalis berdasarkan hak milik pribadi atas alat-alat produksi, emansipasi menurut Marx hanyak akan tercapai kalau hak milik pribadi itu dihapus.[11] Setelah memahami keadaan seperti inilah kemudian Marx menilai lebih jauh bahwa ada sesuatu dibalik itu semua yang berusaha membela, mendukung dan menganggap benar dari setiap usaha dan tindakan kaum kapitalis terhadap para pekerja. Gagasan-gagasan, pembenaran dan lain-lain yang mendukung kelas kapitalis itulah yang disebutnya sebagai ideologi dan berusaha untuk “dibongkar” oleh Marx sebab telah begitu membelenggu dan menipu masyarakat.
Di dalam sebuah buku, The German Ideologi—yang ditulis oleh Marx dan Engles—setidaknya telah memberikan alternatif pemikiran baru terkait keadaan materil manusia yang ditentukan oleh faktor-faktor sosio-ekonominya dan hubungannya dengan  gagasan-gagasan yang kemudian timbul dari manusia tersebut seperti hukum, politik, kebudayaan. Dalam karyanya yang berpengaruh itu, Marx mengatakan bahwa kesadaran manusia dalam berbagai bentuknya mau tidak mau akan ditentukan oleh keadaan materil (sosio-ekonomis), bukan sebaliknya seperti perkataan-perkataan filsafat sebelumnya. Dengan kata lain, sesuatu yang sifatnya dasariahlah yang menentukan dalam masyarakat bukan kesadaran, bukan apa yang dipikirkan masyarakat melainkan kenyataannya, keadaan yang sebenarnya.[12] Berdasarkan dari titik tolaknya itu Marx mengkritik pemikir-pemikir yang sangat percaya akan kekuatan gagasan-gagasan manusia atau ideologi terhadap sejarah. Dan pada akhirnya, dari pernyataan-pernyataan dasar inilah muncul sebuah justifikasi dari kritik ideologi Marx awal, yaitu bahwa ideologi apapun bentuknya selalu ingin menerima dan membenarkan suatu kenyataan; tafsirannya bisa berubah-ubah, tapi kenyataannya tetap.[13]
Hal ini secara jelas berusaha mengkritisi pemikiran sebelumnya yang diutarakan oleh Hegel. Sebelumnya Hegel menilai bahwa kesadaranlah yang pada akhirnya akan menciptakan keadaan materil dari masyarakat, atau dalam kata lain Hegel berasumsi bahwa kesadaran yang dimiliki oleh manusia tersebut yang pada akhirnya akan menentukan jalannya sejarah. Dengan begitu, tidak heran jika banyak dari para ilmuan menilai Marx hanya melakan sebuah ”pembalikan” asumsi yang sebelumnya dibuat oleh Hegel, bukan sebuah alternatif pemikiran yang benar-benar baru dan orisinil.
Untuk menjelaskan bagaimana ideologi telah mengkungkung masyarakat dan memihak pada salah satu kelompok atau golongan dalam masyarakat, Marx membuat sebuah konsep keterhubungan yang disebut dengan hubungan base (infrastruktur) dan superstruktur (supra-struktur).[14] Dalam bahasa yang lain Marx membagi lingkup kehidupan manusia dalam dua bagian besar, yang satu adalah “dasar nyata” atau yang disebut basis (base) dan yang lain adalah “bangunan atas”. Menurutnya relasi keduanya itu terjadi secra vertikal dari bawah ke atas, yaitu base atau infrastruktur tersebutlah yang nantinya akan berpengaruh membentuk bagian di atasnya yang disebut superstruktur atau suprastruktur. Base didefinisikan sebagai bagian yang sangat menentukan dalam hubungan keduanya, yaitu apa yang disebut dengan lingkungan materil manusia pada umumnya, apa yang ada dan terjadi di sekitarnya, serta semua keadaan sosio-ekonomi di dalam masyarakat tersebut. Keadaan-keadaan yang telah dijabarkan pada kalimat terakhir inilah yang membentuk kesadaran dan gagasan-gagasan manusia dalam masyarakat atau disebut dengan suprastruktur. Di dalam suprastruktur inilah kemudian kita mengenal hal-hal seperti hukum, politik, kesadaran, dan gagasan-gagasan. Singkatnya dapat dipahami bahwa dasar atau basis itu adalah bidang “produksi kehidupan material”, sedangkan bagian atasnya adalah “proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual. Kehidupan bangunan atas ditentukan oleh kehidupan dalam basis.[15]
Di dalam kritiknya terhadap ideologi—gagasan-gagasan dan kesadaran masyarakat yang meliputi ajaran agama, politik, hukum, dan moralitas)—, Marx juga melihat bahwa pada kenyataannya kehidupan itu seperti sebuah cerminan yang terbalik layaknya sebuah lensa obscura, dalam sebuah realitas yang terbalik inilah kemudian Marx menilai terdapat kepalsuan dalam sebuah ideologi. Sering kali untuk mencontohkannya adalah realitas yang terjadi pada masyarakat kapitalis. Kelas tersebut yang dalam masyarakat secara hierarki berada di atas atau lebih tinggi dari kelas para pekerja (proletar), gagasannya bersifat kuasa dan menentukan. Kekuasaan yang dimiliki kelas kapitalis dan tercipta dari hubungan ekonomi dan kerja itulah yang kemudian melatabelakangi kelas ini untuk berupaya mencari “alat” pembelaan dan penjagaan atas kepentingan-kepentingannya. Maka menurut Marx, kelas kapitalis akhirnya menciptakan teori yang bisa membenarkan kepentingan itu. Inilah yang disebut Marx dengan ideologi.
Orang-orang borjuis kapitalis hanya mementingkan dirinya sendiri, ideologi tak ubahnya seperti sebuah kesadaran palsu yang diciptakan. Ideologi melakukan penipuan guna menjaga eksistensi dan kepentingan para kapitalis, sebab para penganutnya selalu menilai pandangan dan cara dari sebuah ideologi adalah yang paling benar, harus diikuti oleh semua orang, dan pada tahap-tahap tertentu mereka dapat dengan mudah bisa mengatakan amoralis pada orang-orang yang secara jelas bertentangan dengan ideologi. Disinilah dapat kita pahami hubungan dengan penjelasan sebelumnya, bahwa ideologi itu lahir bukan dari kesadaran manusia sendiri tapi dari kebutuhan dan kepentingan material manusia secara nyata. Meskipun begitu, Marx tidak menjelaskan lebih jauh tentang teori dan gaagsan (ideologi) seperti apa saja yang dimaksudkan dengan “alat” pembelaan dan pendukung ekistensi serta kepentingan-kepentingan kaum kapitalis.
Sebagai usaha untuk memahami dan membuka selubung realitas sebagaimana yang nampak adanya, Frankfurt School menggunakan kritik ideologi Marx, seperti yang dijelaskan sebelumnya. tentu dengan beberapa pembaharuan, seperti ditambahkannya metode psikoanalisa Freud sebagai pisau bedah analisa untuk mendekonstruksi kesadaran kelas buruh melalui kritik ideologi. Melalui karyanya The Development of Dogma of Christ, Erich Fromm, psikoanalis-marxis Jerman, berhasil mensintesakan ajaran Marx dan  Freud. Fromm menilai, analisis Marx terhadap kesadaran material dinilai tidak mencukupi untuk menjelaskan pengaruh berdasarkan teori basis-infrakstruktur, analisis Freud terhadap kesadaran dinilai sangat efektif untuk menjelaskan selubung ideologis.[16] Fromm berusaha mencari missing link  yang mungkin dari pengaruh antara basis-suprastruktur, Marx dinilai terlalu deterministik dalam menentukan bahwa hubungan produksi selalu menentukan politik, budaya dan sebagainya. Sebelum memulai yang dimaksud dengan kritik ideologi berdasarkan pemikiran Erich Fromm, perlu dipahami dulu mengenai psikoanalisa itu sendiri.
Psikoanalisa, cabang ilmu psikologi baru yang diperkenalkan oleh Freud pada awal abad 20, menjadi faktor sentral dalam menjelaskan kondisi kesadaran. Berbeda dari Filsuf ilmu sosial, Freud, melalui praktik hipnotisnya berhasil menemukan psikoanalisa. Ia mengembangkan sebuah kerangka kerja interpretatif untuk dapat memahami proses perkembangan psikis individu. Interpretasi Freud terhadap instingual dasar manusia, memuat dua makna, pertama terdapatnya prinsip kesenangan dan prinsip realitas.  Freud menilai, manusia sebagian besar dikuasai oleh naluri-naluri untuk mencapai kepuasan, dan menghindari ketidaksenangan.[17] Analisis Freud terhadap naluri dasar manusia,lebih jauh sebagai derivasi dari prinsip kesenangan, terdiri dari naluri untuk bertahan hidup dan naluri terhadap seksualitas khususnya, menjadi unsur kunci untuk menafsirkan kritik ideologi Fromm.
Terlebih dahulu, harus dipahami bahwa gagasan mengenai naluri bertahan hidup atau self preservation drive adalah naluri instingual yang tidak dapat ditunda dan ditahan, perlu terdapatnya pemenuhan kebutuhan langsung bagi individu, yang mengakibatkan akibat fatal sekaligus intoleran secara psikologis, seperti naluri pemenuhan kebutuhan terhadap makanan. Sedangkan naluri pemenuhan hasrat seksual, Freud menilai, adalah gagasan yang paling fleksibel, dalam artian naluri ini, selain dapat ditahan dapat diwujudkan dalam bentuk fantasi-fantasi, selain itu naluri seksual memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap kondisi.
Fromm menemukan bahwa terdapat kesamaan antara materialisme sejarah dengan kajian psikonalisis, keduanya sama-sama berakar dari ilmu materialistis, yang mengandaikan asumsi pada lingkungan material yang menentukan tingkah laku individu, bukan dari kekuatan gagasan. Fromm menilai keduanya memiliki dua kekuatan terselubung dibalik fenomena yang mendorong dan mampu memprediksi tindakan individu pada masyarakat. Baik Marx maupun Freud, berpijak pada asumsi bahwa terdapat kekuatan terselubung yang mendorong manusia, yaitu kesadaran. Bagi Freud, yang menganggap manusia terisolasi melalui dorongan mekanisme, yang berfungsi sejauh berdasarkan pada pemenuhan kebutuhan psikologis, sedangkan bagi Marx, menganggap manusia sebagai mahluk yang membutuhkan banyak kebutuhan, dengan terdapatnya kekuatan potensial dalam diri manusia sebagai kekuatan pendorong. Ketika keduanya digabungkan, akan membentuk sebuah kombinasi yang mampu menjelaskan, berdasarkan kerangka basis-suprastruktur, ditemukannya korelasi langsung dari keduanya, yakni dari kritik terhadap kesadaran.
Kaitannya mengenai  ideologi, Ideologi harus dipahami dalam konteks naluri seksual yang tertahan, yang menunjukkan bahwa ideologi adalah produk dari keinginan-keinginan, naluri-naluri instingktif seperti perkembangan karakter individu dan secara historis, merupakan produk dari situasi sosial tertentu. Konsep Superego menjadi konsep kunci dalam menjalankan ideologi, superego dapat memberikan keterangan mengenai manipulasi dan dominasi, yang baik secara langsung maupun tidak, disodorkan pada masyarakat. Fromm juga menjelaskan melalui Oedipus Complex, yang tidak akan dijelaskan disini adalah terdapatnya kebencian dari kelompok tertentu, meskipun terdapatnya kebencian, individu tetap menyukai dan tetap tertarik secara emosional kepada penguasa. Dibalik Superego tersembunyi berbagai kepentingan untuk memanipulasi. Individu, Fromm meyakini, dinilai tidak memiliki kuasa apapun dalam menolak  norma-norma yang melekat, dan secara tidak langsung dipaksakan, individu menderita dibawah tekanan dalam bentuk tingkah laku dan cara berpikir yang sudah ditentukan bukan oleh kemauannya. 

2.3       ANALISIS TEORI KRITIK DALAM KONTEKS KEKINIAN
Teori kritik bagi pengagum mahzab ini dijadikan sebagai alat atau pisau analisis masyarakat terhadap ideologi yang berkembang terutama mengenai teoritisi kapitalisme. Semenjak teorisi kritis dimulai pengkajiannya sampai pada fase ketiga yang merupakan reformasi dari teori ini yang dikembangkan Habermas, maka tidak lepas juga dari berbagai kritik dalam kontek kekinian. Hal ini melihat relevansi kualitas teori kritik yang hidup pada zaman 60-an.
Kritik itu datang dari Nikolas Kompridis, salah satu mantan murid Habermas berhasil menulis kritiknya terhadap teori kritis melalui buku dengan judul Critique and Disclosure: Critical Theory between Past and Future. Dalam bukunya ia menuliskan kritiknya terhadap Habermas:
Although he claims unequivocally that the paradigm of philosophy of the subject is exhausted, he is also convinced that its normative content can be retrieved and successfully reformulated in terms of the paradigm of linguistic intersubjectivity. If approached in the way Habermas suggests, the philosophical discourse of modernity can be unblocked, and rather than reiterating the same old insights, it can become the bearer of new insights.[18]
Lebih jauh, menurutnya pemikiran Habermas menengenai teori kritik terhadap dunia modern sudah tidak relevan, hal ini karena adanya standar ganda dalam menganalis karakteristik modern. Pemikiran Habermas justru mendukung skeptisme dan pesimistik terhadap karakter zaman sekarang yang modern. Melalui meta-kritik Habermas, bagian dari tujuan keseluruhan rekonstruksi Habermas adalah untuk mengekspos dan menjelaskan aporiai ineliminable ke mana wacana filosofis modernitas telah berulang kali telah dipimpin-ineliminable karena mereka melekat di tempat dari filsafat subjek.[19] Karena ia bertujuan untuk merekonstruksi dan bukan hanya mendeskonstruksi, wacana filosofis modernitas, Habermas juga mengidentifikasi orang-orang dari dalam kerangka normatif.
Metakritik kepunyaan Habermas subjek-alasan berpusat tidak hanya diarahkan di solipsisme metodologi yang menjadi ciri khas filsafat kesadaran dari Descartes ke Husserl. Jauh lebih mencakup dalam lingkup, tujuannya adalah untuk mengekspos sebagai contoh merosot paradigma filosofis kegagalan upaya sebelumnya dan berbagai kontemporer untuk membebaskan dari subjek-berpusat tempat filsafat modern. Kontruksi teori kritik dengan melihat kritik pribadi yang padanya bersifat subjektif. Inilah poin yang perlu dicatat dari tulisan Kompridis. Pendekatan yang digunakan teori kritis terlalu subjektif, Ia menambakan bahwa objektifikasi subjektif mengacaukan hasil dari upaya subjek untuk membuat sendiri secara teoritis dan praktis yg mudah dipahami sebagai subjek, karena itu harus membungkuk kembali pada dirinya sebagai objek, dalam rangka memahami dirinya sebagai cermin dalam gambar.
Nikolas Kompridis berpendapat untuk teori lebih kaya dan lebih kritis waktu-responsif. Dia menyebut untuk perubahan dalam penekanan normatif dan kritis terhadap teori kritis dari keprihatinan sempit dengan peraturan dan prosedur model Jürgen Habermas ke pengungkapan memungkinkan perubahan-kemungkinan dan pembesaran makna. Kompridis kontras dua visi peran teori kritis dan tujuan di dunia: yang membatasi diri pada klarifikasi normatif prosedur dimana pertanyaan-pertanyaan moral dan politik harus diselesaikan dan membuat alternatif sendiri. Di tengah-tengah dialektika teori kritis yang interpretasi normatif, dirumuskan ide Martin Heidegger tentang "pengungkapan" atau "pengungkapan dunia." Dalam hal ini Kompridis menghubungkan teori kritis untuk sumber-sumber normatif dan konseptual dalam tradisi filsafat Jerman dan menetapkan itu dalam tradisi romantis kritik filosofis.
Kerangka yang terlalu normatif ini kemudian diisi dengan perubahan paradigma intersubjektivitas linguistik telah disertai dengan perubahan dramatis dalam pemahaman diri-teori kritis itu. Prioritas diberikan kepada pertanyaan keadilan dan tatanan normatif masyarakat telah direnovasi teori kritis dalam gambar teori-teori liberal tentang keadilan. Sementara ini telah menghasilkan varian kontemporer penting dari teori-teori liberal tentang keadilan, cukup berbeda untuk menjadi sebuah tantangan untuk teori liberal, tetapi tidak cukup untuk menjaga kesinambungan cukup dengan masa lalu teori kritis, itu telah sangat lemah identitas teori kritis dan secara tidak sengaja dimulai yang prematur pembubaran.[20]
Untuk mencegah pembubaran itu, Kompridis menunjukkan bahwa teori kritis harus "menemukan kembali" dirinya sebagai "-kemungkinan mengungkapkan" perusahaan, menggabungkan wawasan kontroversial Heidegger ke pengungkapan dunia dan gambar dari sumber kenormatifan bahwa ia merasa diblokir dari teori kritis oleh anak baru-baru ini perubahan paradigma dengan peran kemungkinan-mengungkapkan bahwa Kompridis panggilan "pengungkapan reflektif", Kompridis berpendapat bahwa teori kritis harus merangkul warisan diabaikan romantis Jerman dan sekali lagi bayangkan alternatif ada kondisi sosial dan politik, jika memiliki masa depan yang layak masa lalunya.
















BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN
Setidaknya pemikiran dari Mahzab Frankfurt secara tidak langsung berpengaruh pada konstelasi pemikiran besar dunia terutama dalam posisinya terhadap dua ideologi besar, liberalisme dan sosialisme. Berkembangnya teori kritis Frankfurt School beriringan dengan fase perkembangan lembaga tersebut terdiri dari tiga fase yaitu fase pertama dimana kajian-kajian teoritis lebih berorientasi empiris dan menekankan pendekatan ekonomi dalam mengkaji fenomena-fenomena sosial. Perkembangan fase kedua Frankfurt School merupakan reorientasi dari kajian-kajan teoritis yang pertama dimana Horkheimer mengubah dari yang lebih bersifat ekonomis historis menjadi lebih bersifat filosofis. Fase kedua ini yang menjadi landasan teori kritis Frankfurt School. Fase ketiga merupakan fase reformasi dari teori kritis sebagai pengembangan dari teori sebelumnya yang dilakukan oleh Jurgen Habermas.
Fase ketiga ini yang menjadikan teori kritis sebagai kajian yang mulai komprehensif tetapi pada tahun 1960-an teori ini mulai mengalami stagnansi karena adanya penolakan Marcuse terhadap revolusi. Selain itu, teori kritis tidak memiliki jalan keluar untuk berbagai permasalahan karena teori ini hanya mengkritik. Barulah Habermas memulai pemikiran solusi untuk menemukan kritik-kritik darinya yaitu dengan menemukan sebuah pembentukan ruang publik,. Setiap orang dapat berkomunikasi, menyampaikan pendapat tanpa ada tekanan.
Hal ini juga berpengaruh pada teori kritis yang ditarik dalam konteks kekinian. Salah satu kritik utama datang dari Nikolas Kompridis yang berpendapat bahwa Habermas justru mendukung skeptisme dan pesimistik terhadap karakter zaman sekarang yang modern. Mungkin hal ini karena adanya Metakritik kepunyaan Habermas dimana subjek-alasan berpusat tidak hanya diarahkan di solipsisme metodolog. Pendekatan yang digunakan teori kritis terlalu subjektif, objektifikasi subjektif mengacaukan hasil dari upaya subjek untuk membuat sendiri secara teoritis dan praktis yg mudah dipahami sebagai subjek

DAFTAR PUSTAKA


Sumber Buku.
Arato, Andrew dan Eike Gebhardt. 1982. The Essential Frankfurt School Reader (edited). New York: The Continuum Publishing Company.
Bertens, K. 1981. Filsafat Barat Dalam Abad XX. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fromm, Erich. 1980. Beyond the Chains of Illusion. London: Sphere Books Ltd.
Kompridis, Nikolas. 2006. Critique and Disclosure: Critical Theory between Past and Future, London: MIT Press.
Sindhunata. 1982. Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suhelmi, Ahmad. 2008. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
__________________. 1999. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia.

Sumber Lain
Diolah dari mata kuliah Pemikiran Politik Kontemporer oleh Dra. Nuri Soeseno, MA dan Chusnul Mar’iyah, Ph.D.








                                                        


[1] “Resume Buku Dilema Usaha Manusia Rasional – Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt”. Diakses dari http://www.scribd.com/doc/44221723/Resume-Buku-Sindhunata, pda Kamis, 5 Mei 2011, puukul 18:27 WIB
[2] K Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981, hal 177   
[3] Ibid, hal 177
[4] Ahmad Suhelmi,  Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal. 353-354
[5] Perlu diketahui bahwa penekanan pemikiran Marx yang digunakan dalam mazhab Frankfurt adalah pemikiran Marx muda yang masih bersifat humanis. Hal ini berbeda dengan pemikiran Marx tua yang lebih bersifat deterministic.
[6] Opcit, hal, 353-354
[7] Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1982, hal. 79
[8] Ibid, hal 80-92.
[9] Seorang rohaniwan kelahiran Eckersdorf (Jerman) yang sejak tahun 1961 hidup di Indonesia dan menjadi seorang Indonesianis. Tulisan-tulisannya banyak berbicara tentang filsafat dan pemikirn dari para tokoh besar dunia, sampai saat ini setidaknya tidak kurang dari 300 karangan popular dan ilmiah sudah ia hasilkan.
[10] Kebebasan manusia dari kungkungan selubung ideologis yang selama ini membelenggu. Teori ini berusaha mengembalikan kemerdekaan dan masa depan. Ada keinginan untukmengubah keadaan-keadaan itu semua, dan disnilah terlihat bahwa emansipatoris sebagai sebuah cirri dari teori kritis tidak lagi bersifat filsafat semata, namun berusaha menjadi praksis.
[11] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, (1992), hal. 129
[12] Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: Gramedia (1982), hal. 54
[13] Ibid,. hal. 55
[14] Inilah sebuah kerangka klsaik pengertian Marx tentang masyarakat yang merupakan inti pandangan materialis sejarah yang termuat juga dalam bukunya Contribution to The Critique of Political Ekonomics. Penjelasan lebih jauh, lihat Franz Magnis Suseno dalam Pemikiran Karl Marx, Jakarta: Gramedia, (1999), hal. 142
[15] Ibid,. hal. 143
[16] Erich Fromm, Beyond the Chains of Illusion¸London : Sphere Books Ltd.1980. Hal. 68
[17] Penjelasan lebih jauh dapat diperoleh dalam The Essential Frankfurt School Reader (edited by Andrew Arato & Eike Gebhardt). New York: The Continuum Publishing Company.1982. Hal. 479
[18] Nikolas Kompridis dalam Critique and Disclosure: Critical Theory between Past and Future, (London: MIT Press, 2006), hal. 89.
[19] Ibid, hal. 89-95.
[20] Ibid, hal. 25.

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Mazhab Frankfurt (sedikit)"

Posting Komentar