Transisi Demokrasi Mesir dan Libya ?

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       LATAR BELAKANG
Apa yang diprediksikan oleh Huntington dalam bukunya Gelombang Demokrasi Ketiga dapat dikatakan benar. Afrika Utara dan Timur Tengah mengalami proses demokrasi yang menyebar ketiga negara dimulai dari Tunisia, Mesir, dan terakhir Libya. Tentu, bukan hanya dari ketiga negara ini saja, masih ada negara lain seperti Yaman, Yordania, dan lainnya tetapi kadarnya masih kecil. Melihat dari dialektika demokratisasi dinegara-negara dunia, faktor utama penyebab terjadinya proses ini adalah rezim yang otoriter. Rezim otoriter menghendaki rakyatnya untuk tunduk pada kebijakan-kebijakan yang diatur dalam sebuah negara dengan membatasi akses rakyat untuk dapat mengakses formulasi kebijakan tersebut.
Mesir dan Libya adalah negara yang dapat dijadikan studi kasus dalam makalah ini. Penulis melihat bahwa agenda demokratisasi Mesir yang pada saat itu dibawah pemerintahan Mubarak runtuh akibat pemerintahan yang berjalan otoriter, menjalankan, memusatkan kekuasaan di tangannya, serta mengumpulkan sumber-sumber ekonomi hanya untuk kalangan keluarga dan kroninya. Sama pun dengan Gadaffi yang saat ini sedang diguncang kekuasaannya.
Dari pernyataan diatas, makalah ini menyajikan studi perbandingan bagaimana peran elit politik di kedua negara sebagai pemicu demokratisasi mulai dari gaya kepemimpinan, profil kedua pemimpin, dan proses pemicu terjadinya demokratisasi. Keduanya tidak hanya dapat disebut pemerintahan biasa, melainkan mereka telah berhasil membangun rezim. Ditandai dengan pemerintahan yang berjalan lebih dari lima tahun ditambah adanya tindakan dan kebijakan untuk mempertahankan dirinya. Lebih dari itu, makalah ini akan menyajikan persamaan dan perbedaan kedua profil dan peran elit politik itu.




1.2       PERMASALAHAN
Setidaknya ada beberapa pertanyaan penelitian yang kami ajukan dalam makalah ini, yaitu:
1.        Bagaimana profil Gadaffi dan Mubarak beserta latar belakangnya?
2.        Apakah ada persamaan antara peran elit politik antara Gadaffi dan Mubarak?
3.        Selain itu, bagaimana perbedaan keduanya?

1.3       KERANGKA TEORI
Pada sub-bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang dipakai dalam penulisan makalah pendek ini. Setidaknya teori yang akan digunakan, yaitu
Teori Elit[1]
Teori elit menegaskan bahwa setiap masyarakat terbagi atas dua kategori yang luas yang mencakup sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah, dan sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.
Konsep dasar teori yang lahir di Eropa ini mengemukakan bahwa di dalam kelompok penguasa (the rulling class), selain ada elit yang berkuasa (the rulling elite) juga ada tandingan, yang mampu meraih kekuasaan melalui massa jika elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Dalam hal ini, massa memegang sejenis kontrol jarak jauh atas elit yang bekuasa, tetapi karena mereka tak begitu acuh dengan permainan kekuasaan, maka tak bisa diharapkan mereka akan menggunakan pengaruhnya.
Apa yang mendorong elit politik atau kelompok-kelompok elit untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah karena menurut para teoritisi politik (senantiasa) adanya dorongan kemanusiaan yang tak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan. Karena dalam teori-teori kelompok dan elit, kekuasaan merupakan tujuan utamanya.
Pareto (1848-1923), percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasan sosial dan politik yang penuh. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat,
Menurut Pareto, masyarakat terdiri dari dua kelas : (1) Lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi kedalam elit yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite). (2) Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elite. Pareto sendiri lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah, yang menurutnya berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat penting.
Berdasarkan perspektif Pareto dalam membedah hubungan antar elit, ada beberapa penekanan penting yang digunakan. Pertama, Pareto merujuk pada adanya sirkulasi atau pergantian elit antar waktu. Hal ini dapat bermakna ganda: (i) salah satu elit dapat digantikan oleh elit lain; atau, (ii) seseorang dapat berganti posisi di kedua strata –di satu masa ia berada pada kelas tinggi dan di masa lain di kelas rendah. Kedua, pembagian Pareto mengenai‘kelas tinggi’ (high stratum) yang ada dalam masyarakat menjadi dua, elit yang sedang memerintah atau berkuasa –baik langsung ataupun tidak- dan elit yang di luar pemerintahan atau tidak sedang memegang kendali pemerintahan.















BAB II
PEMBAHASAN


2.1       LIBYA SAAT INI
Aksi protes pecah di Libya pada 14 Februari 2011, yaitu selang tiga hari pascamundurnya Hosni Mubarak dari kekuasaannya di Mesir. Banyak kalangan menilai ini adalah aksi “ikutan” atatu yang biasa disebtu dengan efek domino dari sebuah revolusi. Hingga hari kamis, 24 Februari 2011, sejumlah kota utama telah dikuasai massa anti Khadafi dan pihak yang beroposisi. Puluhan ribu manusia dari sejumlah kota itu terus meringsek menghampiri ibu kota negeri, Tripoli, mengancam pusat kekuasaan Gadaffi[2]. Gadaffi masih saja menghadapi ribuan pengunjuk rasa itu dengan segala jenis kekerasan. Dari mengerahkan pasukan bermotor yang ngebut menerjang para pendemo, ratusan sniper mengincar dari gedung, mengerahkan pesawat tempur hingga membombardi Masjid yang diduga jadi markas para musuhnya. Hal itu juga dilakukan dengan menggunakan pasukan bayaran dari negara lain guna meredam dan melumpuhkan pihak-pihak yang memberontak dan beroposisi terhadap .
Seperti banyak diberitakan oleh media, para serdadu dihela ke jalanan menghabisi pendemo. Tank memenuhi seluruh penjuru Tripoli. Tapi tidak semua tentara takluk pada perintah yang nyaris tak masuk akal itu. Contohnya saja sebuah berita yang sanat fenomenal beberapa hari belakangan ini ketika dua orang pilot pesawat tempur milik militer yang pro Gadaffi diperintahkan untuk membom sebuah kota yang telah diduduki oleh banyak pihak pemberontak. Saat itu rupanya dua pilot yang akan melaksanakan tugas pemboman terhadap para pemberotak justru balik menghindari kota yang dituju karena perasaan manusiawi dan keengganan melaksanakan tugas kotor. Akhirnya dua pesawat tempur tersebut mendarat di Malta dan urung melakukan tujuan awal yang menjadi tugas mereka. Saat ini jumlah korban akibat konflik berdarah di Libya pun membengkak. Berdasarkan data dari Liga Hak Asasi Manusia Libya, konflik tersebut telah menewaskan 6.000 orang. Kengerian lain juga berlangsung di sebelah barat Tripoli. Kamis, 24 Februari 2011, serdadu Khadafi membombardir sebuah Masjid yang dituduh sebagai sarang para demonstran. Sejumlah saksi mata menuturkan bahwa pasukan militer mengunakan rudal anti pesawat dan senjata otomatis. Puluhan orang tewas dan ratusan lain luka parah.
Sifat arogansi dan sewenang-wenang Gadaffi ini menuai banyak kecamana dari berbagai pemimpin dan organisasi Internasional. Presiden Ameika Serikat, Barack Obama sudah secara langsung mengeluarkan pernyataan kecaman dengan keras dan meminta Gadaffi segera menuruti permintaan pihak oposisi untuk mundur dari kekuasaannya. Tapi bukan Gadaffi namanya jika menuruti begitu saja permintaan-permintaan asing apalagi yang berasal dari barat. Justru kekisruhan dinegaranya tersebut dia nilai sebagai kesalahan rakyat-rakyat tertentu yang terpengaruh narkoba, Khadafi juga menuduh pimpinan jaringan terorisme Al Qaeda, Osama Bin Laden berada di balik semua kerusuhan yang terjadi di negaranya. Menurut Khadafi, Bin Laden sengaja mengatur rencana untuk memicu perlawanan rakyat Libya terhadap dirinya.
Profil Gadaffi
Muammar Gadaffi yang sering dijuluki sebagai “singa tua” dari Libya adalah sosok yang nyentrik sekaligus fenomenal[3]. Aksi fenomenalnya tersebut belakangan ini juga sedang menjadi perbincangan hangat diberbagai media dunia. Tidak hanya karena pernyataannya yang dengan tegas menolak untuk mundur dan tetap akan terus berada di Libya untuk membela tanah airnya sampai mati, tapi juga sikap keranya terhadap Barat dan dunia internasional yang mengecamnya untuk juga segera mundur. Jelas jika dicermati secara sederhana saja bahwa ada peran dan keterlibatan penting Gadaffi dalam konflik di negaranya, baik peran sentralnya sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dengan terbunuhnya ribuan warga sipil, maupun posisinya yang sudah memerintah di Libya dengan sangat lama menjadi salah satu penyebab lahirnya gelombang demonstrasi. Tidak jarang sikap dan pernyataannya itu memicu "kekesalan" dunia Barat, terutama keterbukaan Gaddafi dalam memberikan dukungan dan pendanaan kelompok-kelompok yang oleh Barat dianggap kelompok Islam militan dan teroris. Atas sikapnya tersebut pula, Libya pun menjadi salah satu negara yang diisolasi Barat dalam dunia internasional[4]. Lalu pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah, siapakah sebenarnya Muammar Gadaffi itu ?.
Gadaffi lahir di kawasan gurun pasir dekat Sirte tahun 1942 dari keluarga keturunan Arab Badui. Gadaffi pernah mengenyam pendidikan militer di Inggris dan ketika kembali ke Benghazi--salah satu kota besar di Libya--ia melakukan sebuah kudeta, tepatnya tanggal 1 September 1969[5]. Muammar Gaddafi mulai dikenal ketika ia berhasil memimpin sebuah kudeta tak berdarah di Libya tersebut. Pemuda yang saat itu masih berusia 27 tahun merebut kekuasaan di Libya dari tangan Raja Idris I[6]. Semenjak berhasil menjadi pemimpin di Libya Gadaffi banyak menuangkan filosfi-filosofi politiknya yang menjadi semacam 'konstitusi' Libya dalam sebuah buku yang disebut 'Buku Hijau' pada tahun 1970. Dalam buku itu Gadaffi menggabungkan sosialisme dan kapitalisme yang dikombinasikan dengan aspek-aspek keIslaman sebagai dasar ideologi Libya. Jika ditarik dalam hubungan antara simbol negara, maka Buku Hijau memiliki kaitan dengan warna bendera Libya yang berwarna hijau secara keseluruhan.
Menurut Benjamin Barber--analis politik asal AS yang beberapa kali bertemu dengan Gaddafi--yang juga dikutip dalam laman EraMuslim.com, sebagai orang yang berasal dari suku yang terbelakang di Arab, Gadaffi mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman dari kehidupan padang pasir yang keras, dan itulah yang membuat sosok Gaddafi menjadi sosok pemimpin yang tipikal, cukup modern, memiliki kemampuan untuk bertahan, paling tidak untuk saat ini, selama 42 tahun, Gadaffi masih bertahan sebagai pemimpin Libya dan ia menjadi satu-satunya pemimpin Arab yang paling lama berkuasa.
Gadaffi memiliki 7 putra, termasuk Saif al-Islam, penggondol gelar PhD dari London School of Economics. Anak Khadafi lainnya adalah Hannibal yang dikenal suka membuat ulah di Eropa dan Saadi, pesepakbola yang gagal. Sedangkan anaknya yang lain, Said al-Arab, telah membelot ke kubu 'pemberontak'[7]. Di Negaranya itu, Gadaffi menempatkan diri sebagai 'pemberi semangat' bagi bangsa Libya meski pada prakteknya, Gadaffi tak ubahnya sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan absolut dan cenderung otoriter. Ia misalnya, memberlakukan kontrol yang ketat terhadap kebebasan pers dan membuat undang-undang yang melarang aktivitas kelompok-kelompok yang secara ideologis menentang Gadaffi. Menurut organisasi pemantau Hak Asasi Manusia Human Rights Watch, kebijakan itu justru mendorong banyak orang untuk melanggarnya. Akibatnya, ratusan orang di penjara dan ada beberapa di antara mereka dihukum mati.
Gadaffi juga dekat para pemimpin lain yang berpaham sosialis seperti dirirnya, diantaranya adalah Hugo Chavez, Presiden Venezuela. Bahkan nama pemeimpin negara tersebut dijadikan nama stadion sepak bola di Libya. Hal ini menjadi salah satu bukti kedekatan Gadaffi dengan Chavez. Chavez pun memiliki hubungan baik dengan Gadaffi. Ia juga sudah mengajak sekutu-sekutunya di dalam dan luar Amerika Latin untuk membahas pembentukan blok pelerai—disebutnya Komite Perdamaian—untuk menengahi konflik Libya. Meski begitu, tidak disebutkan persis apa yang akan dilakukan Chavez. Kedekatan Gadaffi dengan salah satu tokoh dunia yang tidak biasa ini—Hugo Chavez--rupanya telah menjadi tambahan daftar panjang alasan untuk bangsa-bangsa Barat tidak menyukai Gadaffi, khususnya Amerika Serikat.
Dampak Konflik di Libya
Ketidakpuasan rakyat Libya terhadap kepemimpinan otoriter Gadaffi dan kesejahteraan rakyat yang tidak kunjung membaik, juga pengaruh tren revolusi di beberapa negara tetangga rupanya telah berujung pada aksi demonstrasi dan serangan-serangan bersenjata pihak pemberontak yang terus dilancarkan hingga saat ini ke pusat pemerintahan. Hal ini juga disertai usaha untuk menguasai kota-kota penting di Libya. Kejadian ini rupanya ditanggapi serius oleh pihak dan tentara yang pro dengan Gadaffi. Akibatnya pertempuran di negara yang kaya minyak dan gas bumi itu tidak terelakkan lagi,  selanjutnya terjadilah apa yang disebut dengan perang sipil atau perang saudara. Saif al-Islam Gadaffi, anak dari pemimpin Libya Muammar Khadadi menyatakan "Libya bukanlah Mesir atau pun Tunisia. Tidak ada partai politik di Libya. Kami akan melawan elemen penghasut. Bila semua pihak dipersenjatai maka, akan terjadi perang saudara. Kami akan saling membunuh". Kondisi krisis yang melanda Libya saat ini makin menimbulkan ketidakpastian pemerintahan. Kelompok oposisi yang berbasis di Benghazi mendeklarasikan pemerintah baru sebagai tandingan Pemerintahan Moammar Khadafi. Pembentukan dewan pemerintahan ini dikepalai oleh mantan Menteri Kehakiman Mustafa Abdel-Jalil. Jalil sendiri turut serta dalam perlawanan melawan Khadafi di Benghazi. Sementara Khadafi hingga kini masih bersikeras bahwa rakyat mencintai dan terus membelanya. Ia juga memperingatkan akan terjadi pertumpahan darah bila dunia internasional melakukan serangan ke Libya[8]

2.2       MESIR SAAT REVOLUSI
Aksi protes di Mesir pertama kali terjadi di pada tanggal 25 Januari 2011 dan terus berlangsung hingga tanggal 11 Februari 2011. Warga dari berbagai kalangan berbaur memenuhi jalan akibat ketidakpuasan mereka terhadap keadaan pemerintahan yang diselenggarkan pemerintah. Berbagai kalangan mulai dari kelompok demonstran oposisi, orang tua sampai anak – anak bergabung bersama menyerukan kekecewaan terhadap pemerintahan.[9] Tetapi pemerintah menanggapi demonstrasi tersebut dengan keras dan tidak menolerir pemberontakan yang direncanakan. Bahkan Hosni Mubarak yang saat itu menjabat presiden menghimbau bahwa masyarakat jangan meniru perjuangan yang dilakukan aktivis di Tunisia. Mubarak menghimbau bahwa keamanan negara adalah prioritas utama dan harus terus diperjuangkan meskipun menimbulkan kerugian.[10]
Demonstrasi yang terus bergulir dan menjadi semakin besar mengakibatkan pihak pemerintah mengeluarkan reaksi keras dan mengerahkan tenaga keamanan untuk menertibkan para demonstran. Pihak polisi menindak keras para demonstran sehingga timbul banyak korban di kedua pihak. Polisi seringkali membubarkan kerumunan massa dengan bantuan kendaraan militer seperti panzer dan mobil anti huru – hara. Tindakan yang dilakukan polisi ini menyulut reaksi dunia yang menganggap bahwa perlakuan aparat keamanan terhadap demonstran berlebihan dan dapat di hindari. Tetapi bentrokan yang terjadi tidak hanya antara aparat keamanan dengan demonstran yang menginginkan Mubarak untuk mundur, tetapi juga dengan pihak yang pro dengan pemerintahan dan Mubarak.[11] Dengan jumlah yang tidak sedikit demonstran pro Mubarak mengendarai onta dan kuda untuk membubarkan demonstrasi menentang pemerintahan. Bentrokan pun tidak dapat dihindari dan korban jiwa di kedua pihak pun semakin bermunculan.
Demonstrasi yang terjadi di Mesir belakangan ini disebabkan oleh pihak oposisi yang berusaha mencontoh apa yang terjadi di Tunisia. Ketika demonstrasi yang dilakukan warga Tunisia dinilai telah berhasil menjatuhkan rezim, pihak oposisi mendapat keberanian untuk menggelar hal yang serupa di Mesir. Efek domino dari kejadian di Tunisia tersebut berkembang menjadi gerakan massa yang semakin besar dari hari – kehari. Gerakan massa tersebut disebabkan karena masyarakat dinilai sudah jenuh dengan pemerintahan otoriter Hosni Mubarak yang telah ia jalankan selama 30 tahun. Kebijakan yang dilakukan selama 30 tahun tersebut seringkali dinilai tidak pro rakyat karena mementingkan kepentingan segelintir golongan atau kepentingan keluarganya.



Profil Mubarak
Karir Hosni Mubarak mulai menjulang di dunia perpolitikan disaat pecahnya Perang Yom Kippur. Pada saat itu Mubarak yang berpangkat Mayor Jenderal berhasil mengordinasi angkatan udara Mesir untuk menghalau serangan Israel.[12] Memulai karirnya di dalam Angkatan Udara Militer ternyata berdampak positif kepada kehidupan Mubarak, ia pun terus mencapai karir militer yang cukup tinggi sampai akhirnya di promosikan sebagai wakil presiden dari Anwar Sadat. Sebagai presiden Mesir, Mubarak dinilai sebagai presiden yang cenderung netral dalam menghadapi konflik dunia. Begitu pula dalam perannya menghadapi konflik antara Israel dan Palestina Mubarak seringkali cenderung bersikap netral dan tidak memihak, berbeda dengan pendahulunya yang biasanya selalu bersikap keras terhadap Israel.[13]
Mubarak sendiri terpilih menjadi presiden Mesir pada tanggal 18 Oktober 1981 setelah presiden teradahulunya yaitu Anwar Sadat dibunuh oleh gerakan Islam radikal yang menentang kebijakan mesir yang berdamai dengan Israel. Pada saat itu Mubarak yang menjabat wakil presiden diangkat menjadi presiden menggantikan Anwar Sadat dan terus terpilih dalam pemilu – pemilu selanjutnya. Sampai tahun 2005 Mubarak memenangkan pemilu tanpa lawan, barulah setelah 2005 Mubarak berkompetisi dengan adanya rival di dalam pemilu tersebut. Dalam menjalankan pemerintahannya, Husni Mubarak menerapkan peraturan darurat atau yang dikenal dengan Emergency Rule yang mengekang kebebasan dalam berpendapat dan berkumpul. Tujuan dari berlakunya Emergency Rule tersebut adalah untuk mencegah kejadian Islam radikal yang menyebabkan mantan presiden Anwar Sadat meninggal terulang. Kebijakan ini sekarang ditentang oleh Amerika yang menginginkan peraturan tersebut segera dicabut karena dinilai melanggar kebebasan warga negara untuk menyampaikan pendapat dan berorganisasi.[14]
Hosni Mubarak seringkali dituding memperkaya diri karena sering mengeluarkan kebijakan yang tidak pro rakyat. Hosni Mubarak sendiri memegang bisnis yang menempatkannya menjadi salah satu orang terkaya di Mesir. Sebuah harian inggris The Guardian melaporkan bahwa Mubarak memiliki kekayaan sebesar 70 miliar dollar AS. Sebagian kekayaan itu disimpan di perbankan Swiss. Sumber penghasilan mubarak pun beragam, salah satunya adalah resor sepanjang laut merah.[15] Kesenjangan itulah yang menyebabkan mayoritas demonstran menuntut mubarak turun.
Selain itu Mubarak memiliki dua orang anak yang bernama Alaa Mubarak dan Gamal Mubarak. Dibandingkan dengan adiknya, Alaa tidak berminat turun langsung di kancah politik. Alaa lebih berkecimpung dibidang bisnis sedangkan Gamal terkesan lebih ambisius. Bahkan Alaa sempat memberi pernyataan bahwa kisruh di Mesir salah satunya disebabkan investor asing yang diundang oleh Gamal ke Mesir. Terlihat disini terdapat persaingan kepentingan dan tarik menarik kekuasaan diantar anak – anak Mubarak. Selain itu terlihat juga bahwa Mubarak membangun kekuasaan dan ekonomi dengan menempatkan keluarganya di sektor – sektor penting mesir.
Dampak Demokratisasi Mesir
Akibat dari demonstrasi tersebut perekonomian Mesir di daerah – daerah pusat demonstrasi seperti Kairo menjadi lumpuh karena perdagangan terhenti. Lumpuhnya ekonomi segera disusul dengan kenaikan harga bahan pokok. Selain itu Mesir yang merupakan tujuan wisata para turis mancanegara menjadi sepi dari para wisatawan karena keadaan yang tidak kunjung stabil tersebut. Objek bersejarah Mesir seperti museum yang menyimpan artefak kuno banyak yang rusak akibat ulah para demonstran.
Melihat dari potensi pariwisata dan sumber daya Mesir, sebetulnya bukan permasalahan besar bagi mesir untuk bangkit dari keadaan ekonomi tersebut. Dengan letaknya yang sangat strategis, Mesir memiliki potensi yang luar biasa sehingga para Ahli yakin bahwa dengan mudah Mesir akan bangkit. Tetapi dampak yang sesungguhnya dirasakan oleh warga Mesir sebenarnya adalah ketakutan mengenai instabilitas geopolitik karena warga Mesir menuntut sikap yang lebih tegas terhadap Israel terkait Jalur Gaza.
Proses demokratisasi yang terjadi di mesir pun masih menyimpan tanda tanya karena meskipun sudah terjadi revolusi dan rezim Mubarak telah tumbang tetapi proses demokratisasi yang diharapkan masih menjadi harapan. Ketergantungan demonstran terhadap militer dalam menumbangkan rezim Mubarak ditakutkan justru akan menciptakan sebuah rezim baru.[16]

2.3       STUDI PERBANDINGAN GADAFFI DAN MUBARAK
Pisau analisis ini kami mulai dengan memakai pendekatan krisis teori dan revolusi yang menghasilkan analisis perbandingan yang ternyata dapat dilihat cukup signifikan. Berikut tabel yang memaparkan perbandingan peran elit politik Gadaffi dan Mubarak.
Tabel 1
Persamaan Gadaffi dan Mubarak
No.
Indikator Persamaan
Gadaffi
Mubarak
1.
Agama
Beragama Islam, berasal dari tanah Arab dengan aliran muslim sunni sebagai pegangan
Beragama Islam Arab,  berasal dari tanah Arab dengan aliran muslim sunni sebagai pegangan
2.
Asal
Kalangan militer, seorang kolonel yang memimpin kudeta tak berdarah Libya semasa pemerintahan Raja Idris I pada tahun 1969.
Kalangan militer, seorang mayor jenderal  yang berhasil meniti karir sampai akhirnya di promosikan sebagai wakil presiden dari Anwar Sadat.
3.
Pemerintahan
Berhasil membangun rezim (lebih dari lima tahun dan memiliki kebijakan untuk mempertahankan kekuasaannya) selama 42 bukan dari pemilu melainkan orang yang patut dipandang oleh berbagai petinggi negara baik itu presiden, diplomat, dan lainnya. Sifat pemerintahan yang bersifat otoriter juga menjadi persamaan keduanya.  Memberlakukan kontrol yang ketat terhadap kebebasan pers dan membuat undang-undang yang melarang aktivitas kelompok-kelompok yang banyak mendorong rakyat untuk melanggarnya. Akibatnya, ratusan orang di penjara dan ada beberapa di antara mereka dihukum mati. Pemerintahan dinasti menjadi poin selanjutnya dilihat dari pembagian kekuasaan baik ekonomi dan politik yang berasal dan keluarga dan rekan terdekatnya. Penguasaan ekonomi diberbagai macam sektor seperti pertambangan, komunikasi, dan lain sebagainya menjadi indikator beliau menjadikannya politik sebagai dinasti.
Berhasil membangun rezim (lebih dari lima tahun dan memiliki kebijakan untuk mempertahankan kekuasaannya) selama 30 tahun dengan selalu memenangkan pemilu yang diselenggarakan di Mesir. Pun dengan pemerintahan yang bersifat otoriter dengan kebijakan-kebijakan seperti peraturan darurat atau yang dikenal dengan Emergency Rule yang mengekang kebebasan dalam berpendapat dan berkumpul dengan mencegah kejadian Islam radikal yang menyebabkan mantan presiden Anwar Sadat meninggal terulang. Politik dinasti ditandai dengan  membangun kekuasaan dan ekonomi dengan menempatkan keluarganya di sektor – sektor penting mesir meskipun Alaa tidak berminat turun langsung di kancah politik meskipun Alaa lebih berkecimpung dibidang bisnis Gamal terjun dalam dunia politik sehingga terkadang terjadi tarik menarik kekuasaan ekonomi dan politik diantar anak – anak Mubarak.
4.
Kedekatan dengan dunia Barat
Jauh dengan dunia Barat. Kedekatan dengan  para pemimpin lain yang berpaham sosialis Hugo Chavez sampai dijadikan salah satu nama stadion sepak bola di Libya. Mengajak sekutu-sekutunya di dalam dan luar Amerika Latin untuk membahas pembentukan blok pelerai—disebutnya Komite Perdamaian—untuk menengahi konflik Libya yang dijadikan alasan untuk bangsa-bangsa Barat tidak menyukai Gadaffi, khususnya Amerika Serikat.
Mubarak cenderung lebih toleran dengan Barat yang dapat dinilai sebagai presiden yang cenderung netral dalam menghadapi konflik dunia termasuk konflik antara Israel dan Palestina. Hal inilah yang menyebabkan Ia selalu ditendesikan ‘bermain’ dengan dunia Barat termasuk Amerika Serikat dan Israel.
5.
Analisis dengan teori Elit Politik
Gadaffi merupakan bagian dari kelompok penguasan sekaligus elit yang berkuasa tetapi bukan sebagai elit yang memerintah (menduduki jabatan-jabatan formal politik). Tetapi Ia berhasil membangun sistem politik Libya yang disebut Jamahiriya yang terdiri dari General People's Congress (GPC) sebagai lembaga legislatf terdiri dari 2700 perwakilan Basic People's Congresses, serta eksekutif -General People's Committee yang dipimpin sekertaris jenderal sebagai pemimpin pemerintahan. Sehingga saat terjadi proses pemberontakan Libya, Ia tidak dapat diturunkan dengan alasan bahwa Ia bukan pemimpin formal melainkan pemimpin fiktif rakyat Libya. Sebagai elit yang tidak dapat digantikan dan berkuasa tidak secara langsung ditambah dengan sikap otoriternya menjadikan kondisi sosial-politik rakyat Libya menjadi sesuatu yang semu, mudah rapuh. Belum lagi ekses dari gelombang demokratisasi di Tunisia dan Mesir.
Berbeda dengan Gadaffi, Mubarak cenderung tidak seekstrim pemimpin persatuan rakyat Libya. Mubarak menjadi elit polik semenjak  seorang mayor jenderal  yang berhasil meniti karir sampai akhirnya di promosikan sebagai wakil presiden dari Anwar Sadat. setelah pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada Oktober, 1981 oleh kelompok jihad militer yang dipimpin oleh Letnan Khalid Islambouli, Mubarak naik jabatan sebagai presiden Mesir untuk kemudian terpilih kembali menjadi presiden Mesir melalui pemilu 1987, 1993, 1999, dan 2005. Kekuasaan dan status elit politk Mubarak diformalkan melalui jabatan presiden. Dalam bahasa berbeda, sirkulasi status elit politik Mubarak semenjak 1981 sampai Januari 2011 tidak tergantikan.



BAB III
PENUTUP


3.1       KESIMPULAN
Apa yang telah dipaparkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua negara dapat diperbandingkan melalui peran elit politik. Demokratisasi yang terjadi dikedua negara hendaknya melibatkan dua tokoh sentral yaitu Hosni Mubarak dan Muammar Gadaffi. Keduanya memiliki persamaan dan perbedaan yang cukup signifikan.
Demonstrasi yang terjadi di Mesir dan Libya disebabkan oleh efek domino apa yang telah pihak oposisi Tunisia lakukan. Gerakan massa tersebut disebabkan karena masyarakat dinilai sudah jenuh dengan pemerintahan otoriter Hosni Mubarak dan Muammar Gadaffi yang telah ia jalankan masing-masing selama 30 dan 42 tahun beserta kebijakan yang dilakukannya dinilai tidak pro rakyat karena mementingkan kepentingan segelintir golongan atau kepentingan keluarganya. Rakyat kecewa dengan pemimpinnya.
Perbedaan posisi status politik seperti kepemimpinan dan cara mendapatkan legistimasi dapat diperbincangkan. Apa yang dilakukan Gadaffi menurut penulis lebih besar dari Mubarak sehingga sampai saat ini Gadaffi belum juga turun sebagai konsekuensi logis Ia mengganggap dirinya sebagai pemimpin revolusi dan pemersatu rakyat Libya mempertahankan kekuasaanya yang tidak dipilih melalui mekanisme pemilu berbeda dengan Mubarak yang ada sirkulasi kepemimpinan (pemilu) meskipun selalu dimenangkan oleh Mubarak.
Pada akhirnya, peran elit politik selalu tidak dapat disampingkan. Tokoh-tokoh sentral baik formal ataupun tidak menjadi suatu pengaruh yang besar. Terlebih demonstrasi, konfik, dan gerakan massa dijadikan sebagai suatu pendekatan dalam perbandingan politik yaitu pendekatan teori krisis dan revolusi apa yang telah dan sedang terjadi di kedua negara tersebut.



DAFTAR PUSTAKA


Sumber Buku.
Budiarjo, Miriam. 1980. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Cameron, McDonald Lee. 1968. Western Political Theory. New York: Harcourt Jovanovich
Varma, S.P. 1999. Teori Politik Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
harus di tambah lagi fik, mar sumber dari buku…..

Sumber Internet dan Surat Kabar
Diakses dari http://www.detiknews.com/read/2011/02/25/152545/1579384/10/putra-khadafi-dikabarkan-sembunyi-di-pulau-margarita?nd992203605, Pada tanggal 6 Maret 2011, pukul 16.05
Diakses dari http://dunia.vivanews.com/news/read/203760-demonstrasi-di-mesir-didominasi-kaum-pemula pada tanggal 5 maret 2011 pukul 19:45
Diakses dari http://www.detiknews.com/read/2011/01/26/170223/1555183/10/demonstrasi-besar-besaran-di-mesir-200-orang-ditahan Pada tanggal 5 maret 2011 pukul 20:00
Diakses dari http://www.detiknews.com/read/2011/02/03/001644/1559531/10/naik-onta-massa-pro-mubarak-serbu-kubu-oposisi pada tanggal 5 maret 2011 pukul 20:05
Dikutip dari harian Kompas, Hal 10, Dari Pahlawan Menjadi Diktaktor,  Minggu 13 Februari 2011.
Diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-12301713 pada tanggal 5 maret 2011 pukul 20:23
Diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-12301713 pada tanggal 5 maret 2011 pukul 20:30
Dikutip dari harian Kompas, Perspektif Geopolitik Mesir, Minggu 13 Februari 2011.
Dikutip dari harian Seputar Indonesia,  Hal 11, Revolusi Tak Jamin Demokrasi, Senin 14 Februari 2011

Sumber Lain
Diolah dari mata kuliah Perbandingan Politik oleh Yolanda Pandjaitan, S.IP, MA dan Wawan Ichwanuddin, S.Sos, M.Si.




[1] Diolah dari SP. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta : PT Raja Grafindo,1999), hal. 197-200
[2]Diakses dari  http://www.dumaipos.com/berita.php?act=full&id=2179&kat=10, Pada tanggal 6 Maret 2011, Pukul 16.40
[3] Selain itu juga Gadaffi adalah sosok yang unik. Dalam kunjungannya ke sebuah negara, dia tinggal dalam sebuah tenda gaya masyarakat Arab Badui yang ditata dengan mewah. Dia juga mempekerjakan pengawal-pengawal perempuan lengkap dengan persenjataannya.
[4]Sikap barat ini disebabkan lebih lanjut karena selama puluhan tahun memerintah Libya, Gadaffi berusaha menanamkan pengaruhnya di negara-negara sekitarnya. Ia pernah mengirimkan pasukannya ke Chad dan berhasil menguasai Jalur Aozou di utara Chad. Di era tahun 1980-an, Gaddafi memberikan keleluasaan bagi para kelompok-kelompok pemberontak dari Afrika Barat untuk membuka kamp-kamp latihan di Libya. Gaddafi juga dikenal sebagai sosok yang memberikan dukungan dan bantuan dana bagi sejumlah kelompok yang oleh Barat disebut kelompok miitan dan teroris. Ia disebut-sebut memberikan sokongan pada Tentara Republik Irlandia (IRA) dan organisasi-organisasi pembebasan Palestina
[6]Ibid,.
[8] Lihat juga Koran MMedia Indonesia, 1 Maret 2011 tentang “Libya diambang Perang Saudara”. Dijelaskan bahwa berdasarkan kondisi militer dan politik Libia, tidak mustahil negara tersebut akan larut dalam perang saudara antara suku di timur dan barat. Meski dibungkam selama empat dekade, kawasan timur adalah basis pendukung almarhumRaja Idris dan pengikut gerakan Senussi.
[12] Dikutip dari harian Kompas, Hal 10, Dari Pahlawan Menjadi Diktaktor,  Minggu 13 Februari 2011.
[13] Diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-12301713 pada tanggal 5 maret 2011 pukul 20:23
[14] Diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-12301713 pada tanggal 5 maret 2011 pukul 20:30
[15] Dikutip dari harian Kompas, Perspektif Geopolitik Mesir, Minggu 13 Februari 2011.
[16] Dikutip dari harian Seputar Indonesia,  Hal 11, Revolusi Tak Jamin Demokrasi, Senin 14 Februari 2011.

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Transisi Demokrasi Mesir dan Libya ?"

Posting Komentar