Demokratisasi di Taiwan Taiwan, sebagai sebuah provinsi dari negara besar dan yang perekonomiannya sedang tumbuh pesat saat ini, China, memiliki kekhasan dan karakteristiknya sendiri jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya (meskipun Taiwan hanya sebuah provinsi) jika dikaitkan dengan masalah perkembangan demokrasi. Sebagai sebuah propinsi yang terpisah oleh lautan dan memiliki kemndirian dalam bidang ekonomi yang cukup baik, Taiwan justru berbeda dengan negara induknya yang masih berpaham komunis meski saat ini privatisasi juga sudah dilakukan di sektor ekonomi. Hal inilah yang kemudia membuat Taiwan menjadi menarik untuk dicermati dan menjadi—setidaknya salah satu contih—bagaimana demokrasi dapat berjalan dengan sukses tidak hanya bersifat prosedural namun juga secara substansi dinilai cukup baik. Tidak dapat dipungkiri Taiwan dengan statusnya yang unik tak dapat dipungkiri merupakan salah satu "negara"—samapai saat ini masih memperjuangkan pemisahan diri dari China—yang paling demokratis di Asia saat ini. Demokratisasi di Taiwan merupakan perjuangan panjang yang juga menemui tantangan dan hambatan besar pada masa pemerintahan Nasionalis Kuomintang yang otoriter. Namun, selanjutnya demokratisasi berjalan mulus oleh karena Taiwan memiliki syarat-syarat yang diperlukan untuk mendukung usaha demokratisasi tersebut di antaranya tingkat sosial, pendidikan dan kesejahteraan yang relatif tinggi, kondisi ekonomi yang baik dan juga adanya kesungguhan hati dari pemerintah saat itu untuk menjalankan reformasi politik. Setidaknya pernyataan terakhir sedikit memberikan justifikasi para pemikir Barat yang banyak menilai bahwa pertumbuhan tingkat demokrasi harus dimulai terlebih dahulu dari pertumbuhan atau pembangunan sektor ekonomi yang baik. Salah satu fenomena atau praktik demokrasi di Taiwan yang sering dijadiakn alat ukur proses demokratisasi di sana adalah pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilangsungkan 4 tahun sekali. Meski terbilang sukses, pelaksanaan pemilu tersebut tetap meninggalkan kontroversi yang tidak habis-habisnya antara partai pemerintah Democratic Progressive Party (DPP) yang kerap disebut Pan Green dengan koalisi oposisi antara Kuomintang (KMT) dan People First Party (PFP) yang dikenal dengan sebutan Pan Blue. Pan Green jelas menyatakan bahwa tujuan pertama partai adalah mewujudkan Republik Taiwan yang merdeka dan berdaulat. Ini jelas lain daripada platform KMT yang mendukung proses reunifikasi bersyarat dengan Tiongkok Daratan. Hingga dalam perkembangannya saat ini, peta politik Taiwan telah berevolusi menjadi ajang perseteruan 2 kekuatan yaitu pro-reunifikasi bersyarat dan pro-kemerdekaan. Pan Blue atau yang sering disebut pihak nasionalis Taiwan ini adalah kekuatan pro-kemerdekaan Taiwan yang menganggap bahwa KMT adalah pemerintahan dari luar Taiwan yang dapat disamakan dengan penjajah. Ini dapat dimaklumi karena sebelum tahun 90-an, yang mendominasi di pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun judikatif adalah partisan KMT dari Tiongkok Daratan yang kalah dalam perang saudara dengan Komunis dan mundur ke Taiwan tahun 1949. Tumbuhnya kekuatan pro-kemerdekaan ini ditandai oleh kemenangan Chen Shui-bian dari DPP (Pan Green) yang mengambil alih kekuasaan dari KMT pada pemilihan presiden tahun 2000 yang lalu.

Demokratisasi di Taiwan

        Taiwan, sebagai sebuah provinsi dari negara besar dan yang perekonomiannya sedang tumbuh pesat saat ini, China, memiliki kekhasan dan karakteristiknya sendiri jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya (meskipun Taiwan hanya sebuah provinsi) jika dikaitkan dengan masalah perkembangan demokrasi. Sebagai sebuah propinsi yang terpisah oleh lautan dan memiliki kemndirian dalam bidang ekonomi yang cukup baik, Taiwan justru berbeda dengan negara induknya yang masih berpaham komunis meski saat ini privatisasi juga sudah dilakukan di sektor ekonomi. Hal inilah yang kemudia membuat Taiwan menjadi menarik untuk dicermati dan menjadi—setidaknya salah satu contih—bagaimana demokrasi dapat berjalan dengan sukses tidak hanya bersifat prosedural namun juga secara substansi dinilai cukup baik.
Tidak dapat dipungkiri Taiwan dengan statusnya yang unik tak dapat dipungkiri merupakan salah satu "negara"—samapai saat  ini masih memperjuangkan pemisahan diri dari China—yang paling demokratis di Asia saat ini. Demokratisasi di Taiwan merupakan perjuangan panjang yang juga menemui tantangan dan hambatan besar pada masa pemerintahan Nasionalis Kuomintang yang otoriter. Namun, selanjutnya demokratisasi berjalan mulus oleh karena Taiwan memiliki syarat-syarat yang diperlukan untuk mendukung usaha demokratisasi tersebut di antaranya tingkat sosial, pendidikan dan kesejahteraan yang relatif tinggi, kondisi ekonomi yang baik dan juga adanya kesungguhan hati dari pemerintah saat itu untuk menjalankan reformasi politik. Setidaknya pernyataan terakhir sedikit memberikan justifikasi para pemikir Barat yang banyak menilai bahwa pertumbuhan tingkat demokrasi harus dimulai terlebih dahulu dari pertumbuhan atau pembangunan sektor ekonomi yang baik.
Salah satu fenomena atau praktik demokrasi di Taiwan yang sering dijadiakn alat ukur proses demokratisasi di sana adalah pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilangsungkan 4 tahun sekali. Meski terbilang sukses, pelaksanaan pemilu tersebut tetap meninggalkan kontroversi yang tidak habis-habisnya antara partai pemerintah Democratic Progressive Party (DPP) yang kerap disebut Pan Green dengan koalisi oposisi antara Kuomintang (KMT) dan People First Party (PFP) yang dikenal dengan sebutan Pan Blue. Pan Green jelas menyatakan bahwa tujuan pertama partai adalah mewujudkan Republik Taiwan yang merdeka dan berdaulat. Ini jelas lain daripada platform KMT yang mendukung proses reunifikasi bersyarat dengan Tiongkok Daratan. Hingga dalam perkembangannya saat ini, peta politik Taiwan telah berevolusi menjadi ajang perseteruan 2 kekuatan yaitu pro-reunifikasi bersyarat dan pro-kemerdekaan.
        Pan Blue atau yang sering disebut pihak nasionalis Taiwan ini adalah kekuatan pro-kemerdekaan Taiwan yang menganggap bahwa KMT adalah pemerintahan dari luar Taiwan yang dapat disamakan dengan penjajah. Ini dapat dimaklumi karena sebelum tahun 90-an, yang mendominasi di pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun judikatif adalah partisan KMT dari Tiongkok Daratan yang kalah dalam perang saudara dengan Komunis dan mundur ke Taiwan tahun 1949. Tumbuhnya kekuatan pro-kemerdekaan ini ditandai oleh kemenangan Chen Shui-bian dari DPP (Pan Green) yang mengambil alih kekuasaan dari KMT pada pemilihan presiden tahun 2000 yang lalu.

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Demokratisasi di Taiwan Taiwan, sebagai sebuah provinsi dari negara besar dan yang perekonomiannya sedang tumbuh pesat saat ini, China, memiliki kekhasan dan karakteristiknya sendiri jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya (meskipun Taiwan hanya sebuah provinsi) jika dikaitkan dengan masalah perkembangan demokrasi. Sebagai sebuah propinsi yang terpisah oleh lautan dan memiliki kemndirian dalam bidang ekonomi yang cukup baik, Taiwan justru berbeda dengan negara induknya yang masih berpaham komunis meski saat ini privatisasi juga sudah dilakukan di sektor ekonomi. Hal inilah yang kemudia membuat Taiwan menjadi menarik untuk dicermati dan menjadi—setidaknya salah satu contih—bagaimana demokrasi dapat berjalan dengan sukses tidak hanya bersifat prosedural namun juga secara substansi dinilai cukup baik. Tidak dapat dipungkiri Taiwan dengan statusnya yang unik tak dapat dipungkiri merupakan salah satu "negara"—samapai saat ini masih memperjuangkan pemisahan diri dari China—yang paling demokratis di Asia saat ini. Demokratisasi di Taiwan merupakan perjuangan panjang yang juga menemui tantangan dan hambatan besar pada masa pemerintahan Nasionalis Kuomintang yang otoriter. Namun, selanjutnya demokratisasi berjalan mulus oleh karena Taiwan memiliki syarat-syarat yang diperlukan untuk mendukung usaha demokratisasi tersebut di antaranya tingkat sosial, pendidikan dan kesejahteraan yang relatif tinggi, kondisi ekonomi yang baik dan juga adanya kesungguhan hati dari pemerintah saat itu untuk menjalankan reformasi politik. Setidaknya pernyataan terakhir sedikit memberikan justifikasi para pemikir Barat yang banyak menilai bahwa pertumbuhan tingkat demokrasi harus dimulai terlebih dahulu dari pertumbuhan atau pembangunan sektor ekonomi yang baik. Salah satu fenomena atau praktik demokrasi di Taiwan yang sering dijadiakn alat ukur proses demokratisasi di sana adalah pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilangsungkan 4 tahun sekali. Meski terbilang sukses, pelaksanaan pemilu tersebut tetap meninggalkan kontroversi yang tidak habis-habisnya antara partai pemerintah Democratic Progressive Party (DPP) yang kerap disebut Pan Green dengan koalisi oposisi antara Kuomintang (KMT) dan People First Party (PFP) yang dikenal dengan sebutan Pan Blue. Pan Green jelas menyatakan bahwa tujuan pertama partai adalah mewujudkan Republik Taiwan yang merdeka dan berdaulat. Ini jelas lain daripada platform KMT yang mendukung proses reunifikasi bersyarat dengan Tiongkok Daratan. Hingga dalam perkembangannya saat ini, peta politik Taiwan telah berevolusi menjadi ajang perseteruan 2 kekuatan yaitu pro-reunifikasi bersyarat dan pro-kemerdekaan. Pan Blue atau yang sering disebut pihak nasionalis Taiwan ini adalah kekuatan pro-kemerdekaan Taiwan yang menganggap bahwa KMT adalah pemerintahan dari luar Taiwan yang dapat disamakan dengan penjajah. Ini dapat dimaklumi karena sebelum tahun 90-an, yang mendominasi di pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun judikatif adalah partisan KMT dari Tiongkok Daratan yang kalah dalam perang saudara dengan Komunis dan mundur ke Taiwan tahun 1949. Tumbuhnya kekuatan pro-kemerdekaan ini ditandai oleh kemenangan Chen Shui-bian dari DPP (Pan Green) yang mengambil alih kekuasaan dari KMT pada pemilihan presiden tahun 2000 yang lalu."

Posting Komentar